Gelombang penolakan dari berbagai kalangan, termasuk ancaman keamanan lewat media sosial maupun secara langsung, terhadap rencana penyelenggaraan Pekan Advokasi Queer ASEAN pada minggu ini di Jakarta, membuat ASEAN SOGIE Caucus memutuskan untuk merelokasi acara itu ke luar Indonesia.
Lewat pernyataan tertulis, Rabu (12/7), ASEAN SOGIE Caucus menyatakan “keputusan ini diambil untuk memastikan keselamatan dan keamanan, baik peserta maupun penyelenggara.”
Belum ada informasi tentang lokasi baru acara itu. Namun dalam pernyataan itu, ASEAN SOGIE Caucus menyampaikan seruan kepada pemerintah Indonesia dan pemangku kepentingan di ASEAN “untuk menciptakan ruang dialog dengan kelompok-kelompok terpinggirkan, termasuk mereka yang didiskriminasi berdasarkan orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender, dan karakteristik seks (SOGIESC).”
“Visi bersama kami tentang kawasan ASEAN yang inklusif didasarkan pada keberadaan ruang yang aman bagi masyarakat madani dan pengemban wewenang untuk belajar tentang institusi itu, untuk membahas isu-isu yang penting bagi mereka, dan untuk secara kolektif menggunakan hak kami untuk mengekspresikan secara bebas pandangan tentang bagaimana ASEAN memajukan atau tidak, hak asasi masyarakat,” tambah pernyataan itu.
Negara Tak Beri Perlindungan?
Mantan Komisioner Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah menyesalkan relokasi acara ini karena sedianya “banyak pihak perlu mendengarkan dulu persoalan yang dialami kawan-kawan LGBTQ+ yang sudah mengalami berbagai lapis diskriminasi dan kekerasan lintas ruang, bahkan telah tercerabut hak dasar untuk mendapat pekerjaan sebagai sumber hidup, bebas kekerasan dan hak pendidikan.”
Lebih jauh ia mengatakan sangat memahami jika banyak warga kebanyakan dan para pengambil kebijakan yang memiliki pandangan teologis berbeda, “tetapi hak berpendapat dan berkumpul adalah hak dasar yang melekat dan perlu dijamin negara,” tegasnya seraya menambahkan “seseorang tidak bisa didiskriminasi karena faktor ras, etnis, agama/keyakinan, status perkawinan, gender hingga orientasi seksualnya. Negara yang menjadi penjaga agar hak-hak itu terpenuhi, dan tidak mencabutnya.”
Masyarakat Patron-Client
Pengamat sosial di Universitas Indonesia Dr. Devie Rahmawati menilai narasi yang kerap disampaikan para elit dan pemimpin, termasuk pemimpin daerah, tentang LGBTQ+ ikut membuat masyarakat hanya melihat isu ini dari sisi etika dan moral semata.
“Secara sosio-kultural masyarakat Indonesia adalah masyarakat komunal yang merupakan masyarakat patron-client, atau masyarakat lokomotif-gerbong. Artinya mereka selalu melihat, mengikuti dan mengimitasi apa yang dilakukan lokomotif-lokomotif sosial atau patron itu. Data hingga tahun 2023 ini, narasi tentang LGBT yang dibicarakan oleh para elit dan diberitakan media masih cenderung memojokkan dan mendiskriminasi isu-isu terkait LGBT. Walhasil upaya masyarakat untuk memahami hak-hak pribadi setiap manusia masih membutuhkan waktu yang panjang," papar Devie Rahmawati.
Upaya meraih suara pemilih ikut menjadi salah satu faktor yang membuat para elit ini menggunakan narasi negatif terhadap LGBTQ+, tambah Devi. “Penelitian terakhir juga menunjukkan bagaimana menjelang kontestasi pemilu, banyak pemimpin, termasuk pimpinan di daerah, menggunakan narasi negatif terhadap LGBT dengan maksud untuk mendulang suara dari elektoral masyarakat mereka. Ini bisa dipahami bahwa memang secara umum masyarakat kita masih membutuhkan waktu untuk melihat bahwa pilihan preferensi seksual merupakan hak dasar manusia mana pun.”
Diwawancarai secara terpisah, ASEAN SOGIE Caucus mengatakan “tidak kaget dengan sikap abai pemerintah.” Selain menerima beberapa pesan berantai yang mengatasnamakan pihak kepolisian, hotel di mana acara pertemuan itu akan dilangsungkan juga telah diminta melapor jika ada kegiatan apapun terkait Pekan Advokasi Queer ASEAN.
Penolakan MUI dan Sebagian Anggota DPR
Majelis Ulama Indonesia adalah salah satu organisasi masyarakat yang menyampaikan penolakan paling keras. Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas pada hari Selasa (11/7) tidak saja meminta pemerintah untuk tidak memberikan izin acara, tetapi juga menyampaikan semacam “peringatan” dengan mengatakan “jika pemerintah memperkenankan acara itu, sama saja telah melanggar ketentuan yang ditetapkan dalam konstitusi.”
Beberapa anggota DPR juga menyampaikan penolakan serupa, antara lain Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzilly yang berasal dari Partai Golkar dan Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini. Ace masih bersikap netral dengan meminta penyelenggara pertemuan itu mempertimbangkan nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi di Indonesia. Sementara Jazuli, dalam keterangan tertulisnya, mengatakan “ada gerakan besar, jaringan yang luas, serta sponsor dan pendanaan yang kuat untuk mengkampanyekan perilaku LGBT di Indonesia. Itu dilakukan atas nama kebebasan dan hak asasi manusia.”
Subjek Tabu
Meskipun tidak dilarang dan tidak ada satu pasal pun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru yang mengenakan sanksi pada LGBTQ+, tetapi subyek ini masih dinilai tabu di Indonesia.
Bulan Desember 2022 lalu Amerika membatalkan rencana lawatan Utusan Khusus Untuk Hak-Hak LGBTQ Jessica Stern ke Indonesia karena tentangan kuat kelompok-kelompok Islam, termasuk MUI.
Pekan Advokasi Queer ASEAN yang sedianya dilaksanakan pekan ini bertujuan untuk mempertemukan para aktivis dari seluruh Asia Tenggara untuk mengupas tantangan yang mereka hadapi dan solusi yang paling memungkinkan. Menurut kantor berita Reuters, acara ini diselenggarakan bersama oleh kelompok ASEAN SOGIE Caucus yang berbasis di Filipina, Arus Pelangi yang berbasis di Indonesia dan lainnya.
Merujuk pada relokasi acara ini karena kuatnya penolakan dari sebagian besar organisasi masyarakat di Indonesia, ASEAN SOGIE Caucus mengatakan akan menyampaikan “submisi laporan ke mekanisme HAM PBB atas peristiwa tersebut.” Belum ada rincian laporan yang akan disampaikan atau waktu penyampaiannya.
Pekan Advokasi Queer ASEAN ini tidak ada kaitannya dengan pelaksanaan ASEAN Ministerial Meeting yang juga berlangsung di Jakarta pada waktu yang sama. [em/rs]
Forum