Ketersediaan moda transprtasi umum baik konvensional maupun online ternyata belum menjamin keselamatan dan kenyamanan para penggunanya. Hingga saat ini, pelecehan seksual masih terus terjadi di berbagai ruang publik, termasuk di transportasi umum.
Hasil Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik yang diadakan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) tahun lalu menunjukkan pelecehan seksual di transportasi umum mencapai 15,77 persen dan menjadi lokasi kedua tertinggi terjadinya pelecehan setelah jalanan umum (28,22 persen). Sebanyak 46,80 persen dari 62.224 responden mengaku pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum.
Dalam jumpa pers di kantor Komisi Nasional Anti kekerasan terhadap Perempuan di Jakarta, Rabu (27/11), Rastra, anggota tim survei y ang merupakan relawan Lentera Sintas Indonesia menjelaskan berdasarkan hasil surveinya, tiga dari lima perempuan, dan satu dari 10 lelaki pernah mengalami pelecehan di ruang publik. Fakta lainnya adalah perempuan 13 kali lebih rentan mengalami pelecehan seksual di ruang publik ketimbang laki-laki.
"Kalau kita lihat pelecehan di transportasi umum, laki-laki, perempuan, dan gender lain, yang paling tinggi itu, lima tertinggi, sama trennya. Pertama itu di bus, kemudian diikuti angkot dan KRL. Di posisi keempat dan kelima adalah ojek online dan ojek pangkalan atau kita menyebutnya ojek konvensional," kata Rastra.
Hasil survei tersebut, lanjut Rastra, memperlihatkan 35,80 persen dari 62.224 responden menyatakan pernah mendapat pelecehan seksual di bus, 29,49 persen di angkutan kota (angkot), 18,14 persen di kereta rel listrik (KRL), 4,79 persen di ojek online, dan 4,27 persen responden mendapat pelecehan seksual di ojek konvensional.
Responden perempuan mendapat pelecehan seksual di bus sebesar 35,45 persen, di angkot (30,01 persen), dan di KRL (17,79 persen). Sedangkan responden lelaki mengalami pelecehan seksual di bus sebanyak 42,89 persen, di KRL 24,86 persen), dan di angkot (19,65 persen).
Survei itu menunjukkan 19 bentuk pelecehan seksual yang responden alami di transportasi umum – yakni siulan atau suitan, suara kecupan, komentar atas tubuh, komentar seksual yang gamblang, komentar seksis, komentar rasis, main mata, difoto diam-diam, diintip, diklakson, gestur vulgar, dipertontonkan masturbasi publik, dihadang, diperlihatkan alat kelamin, didekati dengan agresif terus menerus, dikuntit, hingga disentuh, diraba, dan digesek-gesek dengan alat kelamin pelaku.
Responden yang mengalami pelecehan seksual mengaku mayoritas saksi banyak yang mengabaikan (40,50 persen), bahkan memperparah keadaan dengan menertawai atau menyalahkan korban (14.80 persen). Sedangkan hanya beberapa saksi yang menolong dan membela korban (36,50 persen).
Inisiatif Transjakarta Cegah Pelecehan Seksual di Bus, Cukupkah?
Menanggapi hasil survei tersebut, Kepala Divisi Sekretaris Perusahaan PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) Nadia Diposanjoyo mengatakan pihaknya sejak 2017 sudah melakukan berbagai insiatif untuk mengamankan penumpang perempuan dari pelecehan seksual, termasuk dengan mengoperasikan bus berwarna pink khusus untuk perempuan di semua koridor. Meskipun demikian saat ini baru tersedia sepuluh bus pink.
Untuk bus Transjakarta berukuran sedang dan besar, lanjutnya, sudah diambil kebijakan memisahkan tempat duduk penumpang, lelaki di bagian belakang dan perempuan di depan. PT Transjakarta saat ini mengoperasikan tiga ribu kendaraan.
"Ini memang upaya kami untuk menurunkan tingkat pelecehan yang sudah sering disebut-sebut tadi. CCTV ini kita pasang memang di bus dan halte. Tahun ini kita akan menyelesaikan pemasangan tambahan seribu unit (CCTV) untuk Mikrotrans," ujar Nadia.
Nadia menambahkan kasus pelecehan seksual yang terjadi di bus Transjakarta selama 2018-2019 mencapai 80 kasus, dan sudah ditangani.
PT Transjakarta sudah mensosialisasikan kepada para penggunanya prosedur 3M kalau melihat pelecehan seksual terjadi dalam bus Transjakarta, yaitu menegur, memisahkan korban dan pelaku, serta melapor kepada petugas.
Menurutnya, PT Transjakarta akan menyiapkan pos-pos pengaduan di halte bus Transjakarta yang dihuni manajer khusus penangan kejadian, psikolog, dan petugas pendampingan hukum.
Kampanye “Komuter Pintar Peduli Sekitar” Edukasi Antisipasi Pelecehan Seksual
Manajer Hubungan Eksternal PT Kereta Commuterline Indonesia (KCI) Adli Hakim mengatakan pada 2018 dan 2019 PT KCI bekerjasama dengan Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) menggelar kampanye bertajuk Komuter Pintar Peduli Sekitar. Kampanye ini mengedukasi perempuan ketika melihat pelecehan seksual, apa saja yang bisa dilakukan ketika menjadi korban pelecehan.
"Kami sangat berterima kasih, banyak sekali komunitas terutama para pengguna KRL yang sangat peduli akan keamanan dan kenyamanan bersama dalam menggunakan transportasi publik sehingga mau berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan seperti ini," ujar Adli.
Komnas Perempuan Serukan Penyelesaian Kasus Pelecehan Seksual di Transportasi Umum Tidak Secara Damai
Komisioner Komnas Perempuan Magdalena Sitorus menjelaskan hasil riset oleh KRPA itu menunjukkan perempuan memang paling banyak menjadi korban kekerasan seksual. Karena itu dia mengajak semua pengguna transportasi umum untuk lebih peduli dengan keadaan sekitar dan korban.
Dia mengusulkan agar kasus pelecehan seksual di transportasi umum tidak diselesaikan dengan cara damai. Menurutnya, pelaku bisa dikenai sanksi berupa larangan menggunakan transportasi umum untuk waktu tertentu. [fw/em]