Tautan-tautan Akses

Pelecehan Seksual Verbal oleh Politisi, Isyarat Urgensi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual


Para peserta aksi Women's March Bandung menyampaikan suaranya di depan gedung DPRD Jawa Barat. Aksi tahun ini fokus menolak eksploitasi anak dan pelecehan seksual. (Foto: Rio Tuasikal/VOA)
Para peserta aksi Women's March Bandung menyampaikan suaranya di depan gedung DPRD Jawa Barat. Aksi tahun ini fokus menolak eksploitasi anak dan pelecehan seksual. (Foto: Rio Tuasikal/VOA)

Sejumlah aktivis perempuan berang melihat pernyataan Deputi Isu dan Narasi Partai Demokrat, Cipta Panca Laksana, di Twitter terhadap calon Wakil Wali Kota Tangerang Selatan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo.

“Paha calon wakil Wali Kota Tangsel itu mulus banget,” cuitnya lewat akun @RepublikDagelan, Jumat (4/9), yang juga di-retweet politisi Said Didu dengan “no pic hoax.”

Politisi perempuan yang juga Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia PSI, Tsamara Amany Alatas, kepada VOA Sabtu (5/9) pagi mengatakan ini jelas pelecehan dan harus dilawan.

“Menurut saya harus dilawan dan tidak dinormalisasi sebagai bercandaan ala bapak-bapak karena ini jelas bentuk pelecehan. Harus di-call-out pelakunya. Paling tidak ada sanksi sosial buat mereka jika yang berhak mengadukan, tidak mau mengadukan ke polisi,” ujarnya. Tsamara dengan lantang juga bicara di Twitter.

Pernyataan keras juga disampaikan aktivis perempuan lainnya, Nong Darol Mahmada. “Twit kayak gini sampah banget...” cuitnya tak lama setelah pernyataan politisi Partai Demokrat Cipta Panca Laksana itu viral.

RUU P-KS Makin Penting

Aktivis perempuan Dian Kartikasari menyatakan pelecehan seksual secara verbal ini bukan saja tidak patut, tetapi juga masuk dalam ranah hukum pidana.

“Dialog secara publik antara Panca dan Said Didu ini mencerminkan perilaku yang menempatkan Rahayu Saraswati sebagai objek seksual... pelecehan seksual secara verbal merupakan tindakan merendahkan martabat yang dapat dituntut secara pidana,” ujarnya.

Dian menyitir urgensi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS), yang jelas dapat digunakan dalam kasus seperti ini.

“Seandainya RUU PKS sudah disahkan, maka pelakunya bisa dituntut menggunakan undang-undang ini. Tapi karena RUU PKS belum disahkan, korban bisa melakukan tuntutan pidana dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan,” ujarnya.

Para peserta Women's March menuntut segera disahkannya RUU-PKS dalam aksi di Jakarta, Sabtu (27/4). (Foto: VOA/Sasmito)
Para peserta Women's March menuntut segera disahkannya RUU-PKS dalam aksi di Jakarta, Sabtu (27/4). (Foto: VOA/Sasmito)

Tak Pandang Bulu

Urgensi diloloskannya RUU P-KS ini juga disampaikan Ketua Sarinah Eva Sundari.

“RUU P-KS sangat diperlukan karena terbukti mindset para laki masih subordinatif berupa memandang perempuan semata obyek seksual. Inipun terjadi pada para tokoh sekelas bekas menteri dan public figure. Apalagi di masyarakat awam, jadi pantas jika sudah 20 tahun kita masuk kategori darurat kekerasan seksual," katanya.

Ketua Institut Sarinah, Eva Sundari. (Foto: Eva Sundari/dokumen pribadi)
Ketua Institut Sarinah, Eva Sundari. (Foto: Eva Sundari/dokumen pribadi)

"Dengan pengesahan RUU itu kita bisa stop trend kekerasan seksual yang selalu naik, apalagi saat pandemi. Biar orang paham bahwa kekerasan seksual itu akibat kepala para pelaku yang menderita male-superiority itu tindakan pidana,” tegas Eva kepada VOA.

Lebih jauh ia menyebut pelecehan seksual secara verbal terhadap Rahayu Saraswati suatu hal yang ironis. “Pelecehan terhadap Saraswati ini ironis karena ia yang paling gigih memperjuangkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Ini membuktikan kekerasan seksual tidak pandang bulu, baik pelaku maupun korban.”

Tidak Ada Toleransi

Pelecehan seksual secara verbal yang dilakukan politisi Partai Demokrat Cipta Panca Laksana itu terjadi pada hari yang sama saat Rahayu Saraswati Djojohadikusumo mendaftarkan diri menjadi pasangan calon Wakil Wali Kota Tangerang Selatan.

Pasangan Muhamad-Saraswati mendaftar ke KPU Kota Tangerang Selatan, Jumat (4/9) pagi, dengan menggunakan oplet biru, disertai iring-iringan konvoi motor. Sejauh ini pasangan tersebut mendapat dukungan dari sembilan partai politik, yaitu PDI-Perjuangan, Gerindra, PSI, PAN, Hanura, NasDem, Perindo, Partai Garuda dan Partai Berkarya.

Saraswati sangat menyayangkan dan kecewa dengan cuitan yang melecehkannya itu.

“Saya menyayangkan dan jujur – kecewa– bahwa ada tokoh-tokoh politik senior yang memberikan contoh kurang baik, bahkan mengobjektifikasi seorang calon pimpinan daerah,” ujarnya kepada VOA.

Ditambahkan Saraswati, meskipun cuitan itu tidak mencantumkan nama, namun ia memiliki sikap yang jelas atas hal itu, yaitu bahwa “tidak ada toleransi atas pelecehan seksual verbal sekali pun. Terlalu banyak perempuan mengalami dan memaklumi, walaupun hal tersebut melukai kaum hawa," katanya.

"Saya sebagai aktivis perempuan dan anak menyayangkan adanya kejadian ini dan para pelaku harus tahu kalau hal tersebut tidak meninggikan derajat perempuan, tapi melukai martabat perempuan, terutama contohnya para atlet olahraga perempuan," lanjut Saraswati.

Selain menunjukkan semakin pentingnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Saraswati juga menyadari urgensi meningkatkan pendidikan akhlak dan budi pekerti.

Perbedaan pandangan diantara anggota DPR membuat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak menjadi legislasi yang ditargetkan selesai tahun 2020 ini. Meskipun demikian sejumlah pihak, termasuk Kaukus Perempuan Parlemen RI, telah mendesak dimasukkannya RUU ini dalam Program Legislasi Nasional 2021.

Hingga laporan ini disampaikan, upaya VOA menghubungi beberapa pejabat Partai Demokrat untuk meminta penjelasan, belum membuahkan hasil. [em/ah/ft]

Recommended

XS
SM
MD
LG