Seorang lelaki bersenjata menewaskan sedikitnya 50 orang dan melukai lebih dari 50 lainnya dalam serangan di sebuah klub malam gay yang ramai di kota Orlando. Para petugas penegak hukum menyatakan sedang menyelidiki pembunuhan itu sebagai suatu tindak terorisme.
Presiden Obama mengatakan serangan terhadap sebuah klub yang kerap dikunjungi oleh warga gay dan lesbian itu sebagai serangan terhadap Amerika Serikat dan nilai-nilai bangsa ini.
“Ini merupakan suatu aksi teror dan aksi kebencian, dan sebagai warga Amerika kita bersatu dalam kesedihan, dalam kemarahan, dan dalam tekad membela rakyat kita,” ujar Obama.
Presiden Obama juga mengatakan aksi semacam itu mungkin terutama karena mudahnya membeli senjata api di Amerika Serikat.
“Kita harus memutuskan apakah ini negara yang kita kehendaki. Dan secara aktif tak melakukan apapun juga merupakan suatu keputusan yang kita ambil,” tambahnya.
Lelaki bersenjata itu, yang disebut bernama Omar Mateen, seorang warganegara Amerika keturunan Afghanistan, menyerbu klub Pulse sekitar pukul 2 pagi dan menembaki sekitar 300 orang di dalamnya. Sebagian berhasil meloloskan diri melalui pintu belakang. Yang lainnya menjatuhkan diri ke lantai atau bersembunyi sebisa mungkin.
Dua penyintas, Rosie Febo dan Sylvia Serrano, mengatakan, “Pada mulanya saya mengira ini suara musik. Tetapi kemudian saya melihat dia. Ia mungkin berjarak 6-9 meter dari saya dan saya melihat api keluar dari senjatanya setiap kali ia melepaskan tembakan. Semua orang menjatuhkan diri ke lantai.”
Pelaku ditembak mati dalam tembak menembak dengan polisi yang tiba di lokasi kejadian. Para petugas menyatakan mereka menyelidiki apakah pelaku punya hubungan dengan organisasi-organisasi Islamis radikal.
Senator Bill Nelson dari Florida mengemukakan, “Saya telah mengeceknya dengan staf intelijen dan mereka percaya ini ada kaitannya dengan ISIS, tetapi saya ingin katakan bahwa ini belum resmi.”
Para pemimpin organisasi Muslim di Amerika Serikat segera mengutuk penembakan itu dan mendesak media berita agar menghindari pemberitaan yang menimbulkan sensasi.
Imam Muhammad Musri, presiden Islamic Society of Central Florida, mengatakan, “Kita semua harus menunggu hingga informasi, fakta, muncul dari para penyelidik, dan kita semua akan mengetahui apa yang terjadi, memahaminya dan bersatu untuk bekerja sama guna membuat komunitas kita kuat.”
Serangan-serangan seperti penembakan massal hari Minggu di Orlando itu mengejutkan dan membuat masyarakat frustrasi, serta memunculkan pertanyaan mengenai apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah peristiwa semacam ini terulang.
Biro Penyelidik Federal (FBI) mengetahui tentang penembak, Omar Mateen, dan menginterogasinya pada tahun 2013 dan 2014. Tetapi seorang pejabat menyatakan para penyelidik tidak mendapati bukti mengenai aktivitas kriminal pria itu.
Seamus Hughes, deputi direktur Program mengenai Ekstremisme di Universitas George Washington, mengatakan, FBI selama beberapa hari ini mungkin akan meninjau kembali mengapa kasus Mateen ditutup, dan apakah penutupan kasus itu merupakan tindakan yang tepat.
Kepada VOA Hughes mengatakan, isunya selalu muncul sewaktu seseorang yang semula memiliki pikiran radikal kemudian melakukan tindakan radikal, dan itulah yang sedang diupayakan untuk dipahami oleh FBI. Ada ribuan investigasi aktif di 50 negara bagian di Amerika, dan FBI harus menetapkan tentang kapan seseorang hanya membual dan kapan mereka benar-benar menjadi militan, lanjut Hughes.
Daniel Pipes, presiden Middle East Forum, mengatakan sulit bagi pihak berwenang untuk mengikuti jejak mereka yang berpotensi menjadi ekstremis karena mereka belum tentu memiliki catatan kriminal atau terkait dengan orang-orang yang melakukan kekerasan.
Pipes menyatakan beberapa tahun yang lalu ia menyebutnya sebagai “Sindrom Jihad Mendadak.” Mendadak, karena tidak ada peringatan dari luar, lanjutnya. Seseorang yang dalam kasus ini adalah seorang satpam yang memiliki anak berusia tiga tahun, yang kelihatannya berbaur di tengah masyarakat dan hidup normal, dapat memiliki pikiran-pikiran yang akan menyebabkannya marah dengan cara ini dan mulai membantai orang, jelas Pipes.
Pelaku penembakan di Orlando itu menyatakan kesetiaannya kepada ISIS dalam percakapannya di telepon dengan saluran layanan darurat, sementara kelompok militan itu menggunakan medianya untuk mengklaim bahwa serangan tersebut dilancarkan oleh salah seorang anggotanya.
Marielle Harris, peneliti senior di Proyek Kontra Terorisme, mengatakan, belum jelas seberapa banyak dukungan langsung yang diterima pelaku dari ISIS. Tetapi apapun situasinya, jelas Harris, hal itu menguntungkan kedua belah pihak karena pelaku mampu bertindak atas nama organisasi itu dan ISIS dapat mengklaimnya sebagai serangannya yang beritanya mendominasi media Barat. Ia mengatakan penting sekali untuk meninjau peran Internet dalam radikalisasi, dan bahwa perusahaan-perusahaan sosial media perlu bersikap lebih proaktif. [uh/lt]