Pembicaraan nuklir antara Iran dan enam negara kuat dunia dilanjutkan hari Rabu di Wina, dengan masalah-masalah yang peka membayangi perundingan. Semua pihak telah sepakat menetapkan batas-waktu 30 Juni untuk mengubah persetujuan kerangka kerja menjadi persetujuan terakhir yang hendak menghambat Iran membuat bom nuklir, sementara melonggarkan sanksi terhadap Teheran.
Amerika Serikat mengatakan pihaknya mempunyai bukti Iran telah memberi senjata kepada pemberontak Shiah Houthi di Yaman. Amerika telah mengerahkan kapal-kapal perang ke perairan lepas pantai Yaman.
Para pejabat Amerika mengatakan mereka juga telah menekan Iran mengenai kasus-kasus warga Amerika yang ditahan dan hilang di Iran, tetapi mengatakan ini akan diajukan secara terpisah dari pembicaraan nuklir.
Sementara Iran dan negara-negara kuat dunia melanjutkan kembali perundingan di Wina sejak Rabu, para legislator di Washington menggelar sidang yang membahas apakah mungkin memverifikasi bahwa Teheran mematuhi ketentuan perjanjian untuk tidak mengembangkan senjata nuklir dengan imbalan pelonggaran sanksi.
Pemimpin Agung Iran Ayatollah Ali Khamenei menuduh Barat menciptakan mitos bahwa negaranya berusaha mengembangkan senjata nuklir. Khamenei membuat banyak anggota Kongres khawatir setelah mengatakan, ia tidak akan memberi para pengawas senjata internasional akses ke instalasi-instalasi militer negara itu.
Ketua Komisi Urusan Luar Negeri DPR ED Royce mengatakan, sikap pemimpin agung itu tidak meningkatkan kepercayaan. "Kutipan pernyataan dari Ayatollah – “Matilah Amerika”. Kemudian perilakunya di Yaman dan tempat lain di Timur Tengah. Itu semua memprihatinkan kita,” ujarnya.
Royce mengatakan kepada VOA, Garda Revolusi Iran mendanai kelompok militan Palestina, Hamas, untuk memperoleh senjata. Ia mengatakan, ketegangan dengan Iran membuat verifikasi atas setiap perjanjian nuklir menjadi lebih penting.
“Peluang untuk bisa masuk ke lokasi yang menurut Iran lokasi militer adalah penting. Namun Iran mengatakan, karena itu adalah lokasi-lokasi militer, kita tidak bisa memasukinya. Mereka jelas memiliki senjata di salah satu lokasi itu, sehingga perlu bagi para perunding untuk mempertahankan pendirian bahwa para pengawas harus mendapat akses untuk masuk dan melakukan pemeriksaan,” imbuhnya.
Berharap memenuhi tenggat waktu akhir Juni untuk mencapai kesepakatan final, para pakar dalam sidang hari Rabu mengatakan, Amerika Serikat terkesan lebih bergegas untuk memenuhi tenggat waktu pendahuluan pada bulan Maret ketimbang Iran, dan ini menguntungkan Iran.
"Saya kira Amerika perlu bersikap lebih objektif dan lebih keras. Dan mulai menyadari dan mengakui bahwa tenggat-tenggat waktu ini bisa merugikan kepentingan sendiri, Amerika perlu bersikap lebih keras terhadap Iran dan membiarkan perundingan berlangsung lebih lama, dan mulai mengancam akan lebih banyak menjatuhkan sanksi,” kata David Albright, pakar senjata nuklir dari Lembaga Sains dan Keamanan Internasional.
Senat telah meloloskan RUU yang akan memungkinkan Kongres mempertimbangkan kesepakatan final sebelum mencabut semua sanksi terhadap Iran.
Presiden Obama awalnya keberatan atas RUU itu, namun kemudian RUU itu diubah dan ia mengatakan tidak akan memvetonya. Albright mengatakan, situasi tarik menarik antara presiden dan Kongres tidak membantu posisi Amerika dalam perundingan.
"Ketidaksepahaman antara Kongres dan pemerintah tidak membantu mengatasi masalah, dan saya kira – sayangnya -- kedua pihak bisa disalahkan. Maksud saya, pemerintah seharusnya sejak awal bekerja lebih erat dengan Kongres. Kongres pastinya perlu berusaha bekerjasama dengan pemerintah dan tidak pihak perlu terlalu mengancam dengan sanksi. Ketidaksepakatan ini merusak," lanjut David Albright.
Sejumlah legislator dan pakar mengatakan, isu mengenai kapan sanksi terhadap Iran akan dicabut bisa menjadi salah satu masalah yang paling sulit diselesaikan para perunding internasional sebelum tenggat waktu 30 Juni.