Kasus seorang gadis yang tewas bunuh diri setelah dituduh melacurkan diri oleh polisi syariah di Aceh membuat sejumlah pihak mendesak pemerintah Aceh untuk merevisi peraturan daerah agar sesuai dengan prinsip hak asasi manusia (HAM) dan mengacu kepada peraturan hukum yang ada di Indonesia.
Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam keterangan pers di kantor KontraS, Jakarta, Kamis (13/9) ini menyatakan kematian gadis bernama Putri itu harus menjadi titik balik bagi pemerintah Aceh untuk berfikir ulang tentang peraturan-peraturan yang sifatnya moralistik.
Menurut Andy, saat ini di Aceh ada empat peraturan daerah (Qanun) yang fokus pada persoalan-persoalan yang sifatnya moralistic, sehingga menyebabkan penegakan hukumnya sangat didasarkan pada praduga-praduga sehingga kemungkinan bisa salah tangkap.
Meskipun Aceh memiliki status otonomi khusus, ujar Andy, pemerintah Aceh memiliki kewajiban untuk tetap tunduk kepada Undang-undang Dasar 1945 dan wajib menegakkan hak asasi manusia.
“Pada kenyataannya ketika kita bicara tentang moral selalu saja yang paling banyak dibebankan adalah anak perempuan atau perempuan secara umumnya. Bahkan pada penangkapan yang secara umum pun ketika ada perempuan di dalamnya atau anak perempuan di dalamnya dia yang akan mengalami lebih banyak proses dimarah-marahi karena dianggap sebagai anak perempuan yang tidak mau patuh,” ujar Andy.
“Beban berdasarkan stereotip gender, berdasarkan peran yang diharapkan masyarakat tentang bagaimana seharusnya perempuan yang baik, jauh membekas kepada orang-orang yang ditangkap, apalgi kalau dia salah tangkap, seperti kasus ini.”
Putri, 16, baru-baru ini ditangkap polisi syariah saat sedang menonton musik organ tunggal sampai dini hari bersama teman-temannya. Gadis asal Langsa Aceh itu ditangkap dan diceramahi di depan umum dan dituduh sebagai pelacur.
Dalam surat terakhir Putri kepada bapaknya, Putri menceritakan bahwa dia malu dan bersumpah tidak menjual diri sebagaimana yang dituduhkan oleh polisi syariah.
Kepala Biro Pemantauan KontraS, Ferry Kusuma menyatakan tidak semua polisi syariah di Aceh paham tentang agama dan perilaku.
“Dalam proses penangkapan itu dinasehatinya di depan umum, tentu orang akan malu. Malah ada yang melawan lalu ketika lari menghindari razia syariah terjadi tabrakan dan sebagainya,” ujar Ferry.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, mengatakan bahwa perlakuan polisi syariah haruslah ramah anak, dan mereka harus dilatih agar memahami hak anak.
“Apapun peraturannya tapi kalau semua dilakukan untuk anak adalah tetap mengacu kepada Undang-undang perlindungan anak dan Konvensi hak anak. Saya kira semua bisa dilakukan. Para petugas juga mohon dilatih bisa mengerti hak-hak yang memang harus diterima oleh anak-anak,” ujar Seto.
Satuan Polisi Pamong Praja dan lembaga pengawasan pelaksanaan syariah atau Wilayatul Hisbah Aceh mengklaim tidak ada kesalahan prosedur penangkapan dan pembinaan terhadap Putri.
Kepala Wilayatul Hisbah Aceh Khalidin Lhoong mengatakan petugas hanya melaksanakan tugas yang melarang adanya hiburan di wilayah Aceh selepas pukul 11 malam. Bagi yang melanggar akan ditindak sesuai dengan qanun syariah Islam yang berlaku di wilayah Aceh.
Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam keterangan pers di kantor KontraS, Jakarta, Kamis (13/9) ini menyatakan kematian gadis bernama Putri itu harus menjadi titik balik bagi pemerintah Aceh untuk berfikir ulang tentang peraturan-peraturan yang sifatnya moralistik.
Menurut Andy, saat ini di Aceh ada empat peraturan daerah (Qanun) yang fokus pada persoalan-persoalan yang sifatnya moralistic, sehingga menyebabkan penegakan hukumnya sangat didasarkan pada praduga-praduga sehingga kemungkinan bisa salah tangkap.
Meskipun Aceh memiliki status otonomi khusus, ujar Andy, pemerintah Aceh memiliki kewajiban untuk tetap tunduk kepada Undang-undang Dasar 1945 dan wajib menegakkan hak asasi manusia.
“Pada kenyataannya ketika kita bicara tentang moral selalu saja yang paling banyak dibebankan adalah anak perempuan atau perempuan secara umumnya. Bahkan pada penangkapan yang secara umum pun ketika ada perempuan di dalamnya atau anak perempuan di dalamnya dia yang akan mengalami lebih banyak proses dimarah-marahi karena dianggap sebagai anak perempuan yang tidak mau patuh,” ujar Andy.
“Beban berdasarkan stereotip gender, berdasarkan peran yang diharapkan masyarakat tentang bagaimana seharusnya perempuan yang baik, jauh membekas kepada orang-orang yang ditangkap, apalgi kalau dia salah tangkap, seperti kasus ini.”
Putri, 16, baru-baru ini ditangkap polisi syariah saat sedang menonton musik organ tunggal sampai dini hari bersama teman-temannya. Gadis asal Langsa Aceh itu ditangkap dan diceramahi di depan umum dan dituduh sebagai pelacur.
Dalam surat terakhir Putri kepada bapaknya, Putri menceritakan bahwa dia malu dan bersumpah tidak menjual diri sebagaimana yang dituduhkan oleh polisi syariah.
Kepala Biro Pemantauan KontraS, Ferry Kusuma menyatakan tidak semua polisi syariah di Aceh paham tentang agama dan perilaku.
“Dalam proses penangkapan itu dinasehatinya di depan umum, tentu orang akan malu. Malah ada yang melawan lalu ketika lari menghindari razia syariah terjadi tabrakan dan sebagainya,” ujar Ferry.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, mengatakan bahwa perlakuan polisi syariah haruslah ramah anak, dan mereka harus dilatih agar memahami hak anak.
“Apapun peraturannya tapi kalau semua dilakukan untuk anak adalah tetap mengacu kepada Undang-undang perlindungan anak dan Konvensi hak anak. Saya kira semua bisa dilakukan. Para petugas juga mohon dilatih bisa mengerti hak-hak yang memang harus diterima oleh anak-anak,” ujar Seto.
Satuan Polisi Pamong Praja dan lembaga pengawasan pelaksanaan syariah atau Wilayatul Hisbah Aceh mengklaim tidak ada kesalahan prosedur penangkapan dan pembinaan terhadap Putri.
Kepala Wilayatul Hisbah Aceh Khalidin Lhoong mengatakan petugas hanya melaksanakan tugas yang melarang adanya hiburan di wilayah Aceh selepas pukul 11 malam. Bagi yang melanggar akan ditindak sesuai dengan qanun syariah Islam yang berlaku di wilayah Aceh.