Pemerintah dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) baru-baru ini melakukan rapat terbatas membahas pembentukan tim gabungan antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung terkait penyelesaian tujuh kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Pemerintah diwakili Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Badan Intelijen Negara serta Kepolisian.
Ketujuh kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut yaitu penghilangan dan penyiksaan orang pada 1965-1966, penembakan misterius pada 1982-1985, peristiwa Talangsari Lampung pada 1989, kerusuhan dan penghilangan orang secara paksa 1997-1998, Tragedi Trisakti 1998, Tragedi Semanggi dan pembunuhan di Wamena Wasior, Papua.
Kepala Staf Kepresidenan Luhut Panjaitan, Senin (27/4) mengatakan pemerintah saat ini sedang mencari format yang baik dalam menyelesaikan tujuh kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu itu, lanjutnya, harus tuntas. Menurutnya dalam penyelesaian kasus ini, Indonesia akan belajar dari pengalaman Afrika Selatan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.
"Kan sudah lama kita harapkan seperti Afrika Selatan masa forgive and forget ga bisa tentu kan nanti dicari formatnya. Saya belum tahu berapa lama tetapi keinginan Presiden rekonsiliasi itu mesti ada. Kita mari menatap masa depan yang lebih baik," ujarnya.
Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mendorong ketujuh kasus itu diselesaikan melalui rekonsiliasi saja. Jaksa Agung menganggap hasil pemeriksaan oleh penyidik menunjukan hasil penyelidikan Komnas HAM minim data untuk bisa dilanjutkan ke penyidikan.
Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai mengatakan pelanggaran HAM berat masa lalu merupakan catatan kelam Indonesia. Untuk itu lanjut Pigai, Presiden Jokowi ingin menyelesaikan kasus ini karena beban sejarah.
Keinginan pemerintah menyelesaikan kasus ini, kata Pigai, merupakan sebuah tonggak sejarah baru dan harus benar-benar direalisasikan. Ada dua jalur yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yaitu dengan proses yudisial (proses hukum) dan rekonsiliasi. Komnas HAM, tambahnya, mendorong penyelesaian kasus tersebut melalui dua jalur.
Dia mencontohkan untuk peristiwa 65, pelakunya hampir sudah tidak ada atau meninggal sehingga sulit apabila dibawa ke pengadilan. Sementara untuk kasus yang lain, kata Pigai, pelakunya masih hidup sehingga dapat dibawa ke jalur yudisial.
Menurut Pigai, pilihan penyelesaian kasus ini harus diserahkan kepada keluarga korban karena itu terkait dengan keadilan bagi keluarga korban.
Lebih lanjut, Natalius Pigai menilai penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia tidak bisa secara otomatis meniru penyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Afrika Selatan.
Tujuh kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi di Indonesia merupakan kejahatan kemanusian sedangkan di Afrika Selatan perbedaan terjadi karena didorong ras dan etnik.
"Kalau kejahatan kemanusiaan, seorang pucuk pimpinan yang merepresentasi komunitas tidak bisa menjadi pengambil keputusan. Kalau di Afrika Selatan korban apartheid, kekuasaan kulit putih kepada orang Afrika Selatan asli. Nelson Mandela mencitrakan diri sebagai representasi komunitas etnik Afrika Selatan. Nah di sini harus dilihat," ujarnya.
Wakil Koordinator Bidang Advokasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani berharap tim ini bisa mendorong penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut melalui mekanisme yudisial dan non yudisial.
Dalam melakukan rekonsiliasi, kata Yati, seharusnya pemerintah harus menempuh beberapa tahap yang harus dilalui yaitu pengungkapan kebenaran, ada proses keadilannya dan ada pemulihan korban terlebih dahulu.
"Pengungkapan kebenaran, diungkap dululah entar mekanismenya melalui KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) entah mekanismenya nanti mau ada keputusan presiden itu soal lain tetapi pengungkapan kebenarannya harus dilakukan dahulu terus keadilannya harus dipenuhi dulu, korbannya harus dipulihkan dulu baru setelah itu baru ada pembicaraan soal rekonsiliasi. Nah selama tahapan-tahapan itu itu tidak lakukan itu akan sulit," ujarnya.
Hasil penyelidikan Komnas HAM terkait tujuh kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut sebenarnya telah lama diserahkan ke Kejaksaan Agung tetapi hingga kini Kejaksaan Agung tidak kunjung menindaklanjutinya karena minimnya data dan tidak adanya Pengadilan HAM Ad Hoc.