Pengobatan kanker relatif mahal, dan bahkan dianggap bisa memiskinkan pasiennya. Karena itulah, negara harus memperbesar perannya, melalui skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Ketua Ikatan Ekonomi Kesehatan Indonesia Hasbullah Thabrany menyebut, pemerintah tidak boleh menekan pembiayaan kanker, karena dianggap menyedot anggaran JKN. Justru, karena penyakit ini membutuhkan biaya besar, pemerintah harus menghadirkan skema berbagi risiko yang lebih baik.
“Penyakit-penyakit yang kronik ini, penyait kanker dan lain-lain, adalah penyakit-penyakit yang bisa memiskinkan seseorang atau rumah tangga, dan karenanya harus ditanggung bersama. Itulah konsep dasar dari JKN,” kata Hasbullah dalam diskusi terkait revisi JKN, Kamis (28/10) petang.
Hasbullah menambahkan, secara mendasar harus ada pemahaman bahwa penyakit-penyakit yang biaya pengobatannya mahal harus ditanggung bersama. Dalam asuransi, konsep ini disebut sebagai risk sharing. Karena pembiayaan kanker mahal pada tingkat individu, biayanya harus ditanggung bersama agar menjadi murah.
Pembiayaan Kanker Tinggi
Secara rata-rata, biaya pengobatan kanker ada di angka Rp50 juta per tahun. Biayanya mungkin lebih tinggi di awal, ketika harus melakukan tindakan operasi dan sebagainya. Namun seiring waktu, biaya akan turun sehingga rata-rata Rp50 juta. Di Indonesia, ada satu penderita kanker di setiap sepuluh ribu warga. Karena itulah, kata Hasbullah, JKN harus bisa menciptakan skema pembiayaan kanker Rp50 juta per tahun yang ditanggung oleh sepuluh ribu orang. Secara matematis, hanya dibutuhkan Rp5 ribu per tahun pembayaran dari setiap peserta JKN. Karena dibayar setiap bulan, biaya iurannya tidak lebih dari Rp500 per bulan.
“Jangan takut tidak mampu. Jangan takut negara bangkrut. Tidak, negara tidak akan bangkrut. Karena ini digotong bersama. Kita tidak meminta negara menanggung itu semua, sementara kita tidak membayar iuran. Kita membayar iuran, dan kita juga membayar pajak, yang jumlahnya jauh lebih tinggi dari itu,” tandas Hasbullah dalam diskusi yang diselenggarakan Indonesian Cancer Information and Support Center (CISC)
Kecilnya peran pemerintah dalam pembiayaan kesehatan masyarakat, dapat dilihat dari besarnya biaya belanja kesehatan melalui APBN. Sejumlah negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina dan China ada di posisi tinggi dalam Universal Health Coverage (UHC) Indeks.
“Karena lemahnya kita, rankingnya masih rendah, banyak sekali penderita kanker yang belum mendapat layanan yang memadai. Sebagian tenaga kesehatan dan rumah sakit harus menanggung beban, karena tidak didanai, dengan dana UHC yang memadai,” tambah Hasbullah yang juga Chief of Party, USAID-Kemkes Health Financing Activity.
Negara-negara itu membelanjakan sekurangnya 3 persen dari Product Domestic Bruto (PDB) mereka untuk sektor kesehatan. Sejak 20 tahun lalu, Indonesia selalu berada di posisi rendah. Timor Leste, yang dulu rendah, kini bahkan terus meningkatkan persentase PDB mereka untuk sektor kesehatan, hingga hampir 3 persen.
Menurut Kementerian Kesehatan, pada 2019 jumlah kasus kanker yang ditangani di Indonesia mencapai 2,7 juta kasus. Biaya perawatan yang dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan mencapai Rp4,1 triliun. Pada 2020, jumlah kasusnya turun menjadi 2,5 juta kasus dengan biaya mencapai Rp3,5 triliun. Penurunan ini diduga karena masyarakat mengurangi frekuensi mengakses layanan kesehatan karena kondisi pandemi.
Kematian Akibat Kanker Meningkat
Ketua Umum CISC, Ariyanthi Baramuli Putri mengatakan, sejak berdiri pada 2003, organisasinya rutin mengadakan pertemuan bulanan. Pertemuan itu menjadi wadah saling memberikan dukungan psikososial dan pemberdayaan anggota, yaitu pasien kanker. Mereka juga menyediakan rumah singgah bagi pasien kurang mampu serta advokasi kebijakan.
Salah satu advokasi kebijakan yang mereka lakukaan saat ini, dikaitkan dengan rencana pemerintah melakukan evaluasi JKN. Diharapkan revisi ini menjadi peluang untuk memperbaiki layanan kesehatan bagi pasien kanker.
“Melalui BPJS Kesehatan banyak sekali pasien yang sudah terbantu. Tantangan terbesar adalah lajunya peningkatan kasus baru maupun kematian akibat kanker,” kata Ariyanthi.
Data menunjukkan angka kematian akibat kanker di Indonesia tahun 2018 adalah 207.210 kasus. Sementara pada 2020 meningkat menjadi 234.511 kasus. Data itu menunjukkan kenaikan angka kematian sebesar 27.300 kasus dalam 2 tahun. Karena itulah, kata Aryanthi, mereka punya harapan besar saat ini, ketika pemerintah meninjau kembali program JKN berkaitan tarif dan pelayanan yang dijamin.
“Kami ingin menyuarakan harapan pasien kanker, agar revisi JKN yang saat ini sedang dilakukan pemerintah, memastikan bahwa layanan kanker tetap dijamin dan ditingkatkan kualitas serta cakupannya sesuai standar pelayanan kanker secara medis,” ujarnya.
Selain itu, CISC juga berharap proses penentuan kebijakan bagi pasien bisa melibatkan pasien itu sendiri.
Sudah Ada Standar Layanan
Ketua Perhimpunan Dokter Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam Indonesia (Perhompedin) Jakarta, Ronald A Hukom mengingatkan ada standar layanan yang harus diberikan bagi pasien kanker. Setidaknya, konsensus American Society of Clinical Oncology (ASCO) dan European Society for Medical Oncology (ESMO) bisa jadi patokan.
“Ini konsensusnya, sejak Juli 2006. Ada persyaratan-persyaratan yang seharusnya selalu dipenuhi dalam mencapai apa yang disebut dengan pelayanan kanker yang berkualitas,” kata Ronald.
Syarat itu antara lain adalah akses terhadap informasi, di mana pasien harus memahami apa yang akan dilakukan oleh dokter, manfaat serta risikonya. Selain itu ada jaminan kerahasiaan, privasi, akses ke rekam medis, layanan pencegahan hingga tidak adanya diskriminiasi.
Ronald mengingatkan, tahun 2007 sudah ada keputusan Menteri Kesehatan mengenai fokus dari pengendalian penyakit kanker, yakni upaya pencegahan.
“Tapi dalam kenyataannya, seperti yang kita lihat sampai sekarang, pencegahan ini belum memberi hasil yang memuaskan. Pasien datang di banyak rumah sakit rujukan sudah dalam stadium tiga atau empat. Ada angka yang menyebutkan 60 persen, ada pula yang menyebut lebih dari 70 persen,” ujar Ronald.
Ronald juga memaparkan data terkait kasus kanker di Indonesia dalam diskusi ini. Pada 2018, Indonesia mencatatkan angka 348.809 kasus, dan meningkat menjadi 396.914 kasus pada 2020. Dari jumlah itu, tertinggi adalah kanker payudara yang tercatat 58 ribu kasus pada 2018 dan 65 ribu kasus pada 2020. Kanker leher rahim di posisi kedua dengan 32 ribu kasus (2018) dan 36 ribu kasus (2020). Disusun oleh kanker paru yang kisaran kasusnya sama dengan kanker usus besar yaitu 30 ribu kasus (2018) dan 34 ribu kasus (2020).
Upayakan Deteksi Dini
Dalam paparan yang disampaikan awal Oktober lalu di laman resminya, BPJS Kesehatan mengakui penyakit katastropik menempati urutan teratas, dalam pembiayaan pelayanan kesehatan Program JKN-KIS. Menurut Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, mereka mengeluarkan sekitar Rp20 triliun untuk penyakit katastropik, dengan Rp3,5 triliun atau 18 persen untuk kanker.
“Pasien kanker yang dijamin oleh Program JKN-KIS paling banyak berusia 41-60 tahun, 69 persen penderitanya adalah perempuan,” kata Ali Gufron.
Kondisi ini, diistilahkan Ali Gufron seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, ada semakin banyak masyarakat dapat mengakses layanan kesehatan untuk pengobatan kanker. Namun di sisi lain, beban biaya pelayanan kesehatan terus bertambah.
“Ini yang menjadi tugas besar kita semua, bagaimana bisa mengendalikan angka penderita katastropik, termasuk kanker,” tambah Ali Ghufron.
Untuk melayani pasien JKN-KIS dalam kasus kanker, BPJS Kesehatan bekerja sama dengan 714 rumah sakit dengan sarana kemoterapi, 507 rumah sakit dengan onkologi board, dan 35 rumah sakit dengan sarana radioterapi di seluruh Indonesia.
Selain itu, upaya promotif dan preventif di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) juga ditingkatkan.
“Deteksi dini sangat penting. Kami juga menjamin layanan papsmear atau IVA sebagai upaya deteksi dini kanker serviks, layanan ini bisa diperoleh di FKTP sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku. Di samping itu, kami juga menyediakan layanan konsultasi online yang bisa dimanfaatkan peserta JKN-KIS melalui aplikasi Mobile JKN,” ujar Ali Ghufron.
Sejumlah tantangan masih harus diatasi dalam layanan kesehatan bagi pasien kanker. Menurut BPJS Kesehatan, tantangan itu antara lain distribusi fasilitas kesehatan dan ketersediaan tenaga medis yang belum merata. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) untuk pelayanan diagnosa kanker dan kemoterapi juga masih terbatas. [ns/ab]