Mantan aktivis Negara Islam Indonesia (NII), Ahmad Syarwani menyebutkan, fenomena Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), tidak berbeda dengan keberadaan Negara Islam Indonesia (NII) yang diakui sebagai induk dari lahirnya kelompok Gafatar.
Selain bertujuan memperkuat organisasi dengan merekrut anggota dari berbagai kalangan, Gafatar menghadirkan program ketahanan dan kemandirian pangan yang menjadi daya tarik masyarakat untuk bergabung.
Meski tidak secara tegas menginginkan adanya negara sendiri, Syarwani meyakini organisasi Gafatar memiliki tujuan mendirikan negara sendiri, seperti yang diperjuangkan oleh Negara Islam Indonesia (NII).
“Kalau pembentukan negara, karena memang diprogramnya ada Khilafah ya, gak tau maknanya negara atau apa saya juga belum jelas, yang penting mereka ada program Khilafah, yang keenam,” kata Ahmad Syarwani, Aktivis NII Crisis Center (Pusat Rehabilitasi Korban NII) Jawa Timur.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah memulangkan sekitar 700 mantan anggota Gafatar, dari Kalimantan ke berbagai Kabupaten dan Kota di Jawa Timur. Dimungkinkan masih akan ada warga asal Jawa Timur yang akan dipulangkan dari Kalimantan ke Jawa Timur, setelah dilakukan koordinasi dengan pemerintah pusat.
Dosen Antropologi Gender, FISIP, Universitas Airlangga Surabaya, Pingky Saptandari mengutarakan, proses pemulangan yang dilakukan kepada mantan Gafatar dari Kalimantan ke Jawa Timur bukan merupakan solusi satu-satunya untuk mengatasi persoalan Gafatar. Pingky berharap pemulangan harus disertai pendampingan dan pemulihan mantan anggota Gafatar, khususnya pemenuhan hak bagi kaum perempuan dan anak.
“Proses ini jangan hanya berhenti pada pemulangan secara fisik, tetapi juga pasca pemulangan harus juga diperhatikan aspek-aspek yang terkait dengan pemulihan-pemulihan secara psiko sosial, karena ini kan bukan benda ya, yang dipindahkan kalau sudah dipindahkan selesai persoalan, tapi ini manusia. Lepas dari persoalan ideologi, concern saya adalah pada perempuan dan anak yang terbanyak, jadi mereka harus diperhatikan dari sisi kelangsungan hidupnya, diperhatikan juga kelangsungan pendidikannya, nah bagaimana itu, itu yang harus dipikirkan,” kata Pingky Saptandari.
Pingky yang juga mantan Staf Khusus Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak menegaskan, pemerintah harus melakukan langkah antisipasi dan pencegahan terhadap penyebaran faham Gafatar, sehingga penanganan tidak terkesan reaktif saat kejadian telah berlangsung.
“Tidak hanya reaktif, tetapi juga dipikirkan bagaimana selain mereka yang sudah terlanjur ini (kena), juga dipikirkan juga bahwa kedepannya bagaimana mencegah orang-orang yang bisa terpapar hal-hal yang semacam ini, yang tidak menutup kemungkinan itu masih berjalan terus, kita kan tidak tahu. Ini kan baru ketahuan setelah terekspos, tapi diluar itu pasti masih terjadi suatu proses-proses rekruitmen atau apa pun itu terjadi,” lanjutnya.
Ahmad Syarwani, Anggota Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme Provinsi Jawa Timur mengatakan, rehabilitasi terhadap mantan anggota Gafatar dapat dilakukan oleh pemerintah bersama pihak terkait, untuk mengembalikan ideologi kebangsaan dan keagaamaan yang sebelumnya ditinggalkan oleh mantan anggota Gafatar.
“Di re-isntall ulanglah, jadi putus komunikasi dulu dengan mereka (Gafatar yang lain), HPnya harus diambil, kalau mau ya, kalau masih berhubungan tetap akan terus dia akan berhubungan, kalau ada komunikasi ya. Kuncinya komunikasinya diputus dulu, artinya diisolasilah, kalah program rehabilitasi ya personal, tidak ramai-ramai begitu,” kata Ahmad Syarwani.
Pada diskusi yang digelar Pusat Studi hak Asasi Manusia (Pusham) Surabaya, Senin (1/2), Syarwani yang merupakan mantan aktivis NII meminta pemerintah memulihkan kehidupan mantan anggota Gafatar, dengan memberikan pemberdayaan di bidang ekonomi dan sosial.
“Pemerintah harus ada pemberdayaan ekonomi kepada mantan-mantan itu, apa bentuknya, pemberdayaan ekonomi ya apalah, kebutuhan mereka apa ditanya dulu, baru sesuai keahliannya diberikan, kalau mau ya pemerintah, kalau tidak ya akan seperti itu terulang kembali,” imbuhnya. [pr/lt]