JAKARTA —
Sebanyak 16 rumah sakit swasta di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta telah menyatakan mundur dari Program Kartu Jakarta sehat (KJS) milik pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan alasan kerugian finansial akibat nilai klaim yang terlalu rendah, ujar pejabat terkait.
Kartu Jakarta Sehat milik Pemerintah DKI Jakarta diperuntukan untuk masyarakat miskin dan rentan miskin agar mendapatkan pelayanan kesehatan gratis.
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dien Emawati, Senin (20/5), mengatakan pihaknya pada Selasa akan melakukan evaluasi dengan Kementerian Kesehatan soal tarif pada Program Kartu Jakarta Sehat ini. Apabila memang dinilai terlalu kecil maka akan dinaikkan, ujar Dien.
Ia mengatakan mundurnya 16 rumah sakit dari Program KJS itu sedikit banyak mengganggu pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, khususnya di wilayah Jakarta Utara, sebab delapan di antaranya berada di wilayah itu. Rumah sakit tersebut, lanjut Dien, semuanya rumah sakit tipe C atau rumah sakit kecil.
Menurutnya, pemerintah DKI Jakarta tak akan menjatuhkan sanksi bagi rumah sakit yang mundur dari program pemerintah itu.
“Mungkin yang di Jakarta yang agak mengkhawatirkan. Tapi mudah-mudahanlah nanti dengan hasil rapat hari Selasa kalau ada perbaikan kemudian kita duduk kembali. Kita masih punya 76 rumah sakit rujukan kok. Secara keseluruhan 92 kemudian yang mundur secara lisan dan tertulis 16. Yang dievaluasi tarifnya, sistem rujukannya sudah bagus kok tidak ada keluhan,” ujar Dien.
Enam belas rumah sakit yang mundur dari Program KJS adalah Rumah Sakit M.H.Thamrin, Admira, Bunda Suci, Mulya Sari, Satya Negara, paru Firdaus, Islam Sukapura, Husada, Sumber Waras, Suka Mulya, Port Medical, Puri Mandiri Kedoya, Tri Dipa, Jakarta Medical Center, Mediros dan Resti Mulya.
Wakil Ketua Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta, Igo Ilham, menyayangkan mundurnya 16 rumah sakit swasta tersebut. Menurutnya, Gubernur harus mengevaluasi sistem kebijakan tersebut secara baik sehingga pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin tidak terganggu.
Meski demikian, pihaknya tidak akan memanggil Gubernur DKI Joko Widodo terkait kasus ini.
“Saya melihatnya sistem baru ini terkesan terburu-buru, tidak melakukan evaluasi mendalam terhadap sistem yang lama. Jumlah sumber daya manusianya belum siap. Kemudian sistem datanya masih lemah sekali karena mengundang orang berbondong-bondong datang ke puskesmas,” ujarnya.
Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan, Marius Widjajarta mengungkapkan, bahwa sebenarnya banyak rumah sakit yang telah mengeluh tentang sistem pelayanan kesehatan gratis yang dikeluarkan oleh Gubernur Joko.
Hal tersebut, kata Marius disebabkan oleh plafon anggaran Kartu Jakarta Sehat yang rendah sehingga banyak rumah sakit yang mengalami kerugian akibat program ini.
Dia menjelaskan ketika rumah sakit mengajukan klaim Kartu Jakarta Sehat ke perusahaan asuransi milik pemerintah, PT Askes, maka biaya rawat jalan hanya diganti 74 persen dan rawat inap ditanggung 63 persen, sementara sisanya ditanggung oleh pihak rumah sakit.
Oleh karenanya, selisih antara biaya riil dan klaim yang dibayar pemerintah bisa sampai 30 persen, menurut Marius. Plafon anggaran Kartu Jakarta Sehat per orang, kata Marius, sebesar Rp 23 ribu per bulan.
Ia juga menyayangkan hingga saat ini Indonesia tidak memiliki standar pelayanan medis.
“Tanpa standar pelayanan medik, kita tidak bisa melihat mutu kesehatan dan tidak bisa menentukan biaya unit. Menurut saya, khusus untuk DKI Jakarta, sebaiknya menekan ke Kementerian Kesehatan untuk segera membuat pelayanan standar pelayanan medis,” ujarnya.
“Setelah itu dengan tenaga-tenaga kesehatan yang ada di Indonesia duduk bareng-bareng membuat perjalanan penyakit. Setelah itu duduk bareng-bareng lagi untuk menentukan unit cost. Saya rasa kalau unit costnya masuk dan tidak merugikan, siapapun baik itu pemilik rumah sakit maupun pasiennya, saya rasa tidak ada masalah.”
Sejak Program ini diluncurkan pada 10 November 2012, sebanyak 4,7 juta orang memegang kartu berobat gratis dengan total anggaran Rp 1,2 triliun.
Kartu Jakarta Sehat milik Pemerintah DKI Jakarta diperuntukan untuk masyarakat miskin dan rentan miskin agar mendapatkan pelayanan kesehatan gratis.
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dien Emawati, Senin (20/5), mengatakan pihaknya pada Selasa akan melakukan evaluasi dengan Kementerian Kesehatan soal tarif pada Program Kartu Jakarta Sehat ini. Apabila memang dinilai terlalu kecil maka akan dinaikkan, ujar Dien.
Ia mengatakan mundurnya 16 rumah sakit dari Program KJS itu sedikit banyak mengganggu pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, khususnya di wilayah Jakarta Utara, sebab delapan di antaranya berada di wilayah itu. Rumah sakit tersebut, lanjut Dien, semuanya rumah sakit tipe C atau rumah sakit kecil.
Menurutnya, pemerintah DKI Jakarta tak akan menjatuhkan sanksi bagi rumah sakit yang mundur dari program pemerintah itu.
“Mungkin yang di Jakarta yang agak mengkhawatirkan. Tapi mudah-mudahanlah nanti dengan hasil rapat hari Selasa kalau ada perbaikan kemudian kita duduk kembali. Kita masih punya 76 rumah sakit rujukan kok. Secara keseluruhan 92 kemudian yang mundur secara lisan dan tertulis 16. Yang dievaluasi tarifnya, sistem rujukannya sudah bagus kok tidak ada keluhan,” ujar Dien.
Enam belas rumah sakit yang mundur dari Program KJS adalah Rumah Sakit M.H.Thamrin, Admira, Bunda Suci, Mulya Sari, Satya Negara, paru Firdaus, Islam Sukapura, Husada, Sumber Waras, Suka Mulya, Port Medical, Puri Mandiri Kedoya, Tri Dipa, Jakarta Medical Center, Mediros dan Resti Mulya.
Wakil Ketua Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta, Igo Ilham, menyayangkan mundurnya 16 rumah sakit swasta tersebut. Menurutnya, Gubernur harus mengevaluasi sistem kebijakan tersebut secara baik sehingga pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin tidak terganggu.
Meski demikian, pihaknya tidak akan memanggil Gubernur DKI Joko Widodo terkait kasus ini.
“Saya melihatnya sistem baru ini terkesan terburu-buru, tidak melakukan evaluasi mendalam terhadap sistem yang lama. Jumlah sumber daya manusianya belum siap. Kemudian sistem datanya masih lemah sekali karena mengundang orang berbondong-bondong datang ke puskesmas,” ujarnya.
Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan, Marius Widjajarta mengungkapkan, bahwa sebenarnya banyak rumah sakit yang telah mengeluh tentang sistem pelayanan kesehatan gratis yang dikeluarkan oleh Gubernur Joko.
Hal tersebut, kata Marius disebabkan oleh plafon anggaran Kartu Jakarta Sehat yang rendah sehingga banyak rumah sakit yang mengalami kerugian akibat program ini.
Dia menjelaskan ketika rumah sakit mengajukan klaim Kartu Jakarta Sehat ke perusahaan asuransi milik pemerintah, PT Askes, maka biaya rawat jalan hanya diganti 74 persen dan rawat inap ditanggung 63 persen, sementara sisanya ditanggung oleh pihak rumah sakit.
Oleh karenanya, selisih antara biaya riil dan klaim yang dibayar pemerintah bisa sampai 30 persen, menurut Marius. Plafon anggaran Kartu Jakarta Sehat per orang, kata Marius, sebesar Rp 23 ribu per bulan.
Ia juga menyayangkan hingga saat ini Indonesia tidak memiliki standar pelayanan medis.
“Tanpa standar pelayanan medik, kita tidak bisa melihat mutu kesehatan dan tidak bisa menentukan biaya unit. Menurut saya, khusus untuk DKI Jakarta, sebaiknya menekan ke Kementerian Kesehatan untuk segera membuat pelayanan standar pelayanan medis,” ujarnya.
“Setelah itu dengan tenaga-tenaga kesehatan yang ada di Indonesia duduk bareng-bareng membuat perjalanan penyakit. Setelah itu duduk bareng-bareng lagi untuk menentukan unit cost. Saya rasa kalau unit costnya masuk dan tidak merugikan, siapapun baik itu pemilik rumah sakit maupun pasiennya, saya rasa tidak ada masalah.”
Sejak Program ini diluncurkan pada 10 November 2012, sebanyak 4,7 juta orang memegang kartu berobat gratis dengan total anggaran Rp 1,2 triliun.