Kasus dugaan korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP) yang melibatkan nama-nama besar kalangan pejabat eksekutif dan parlemen, mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, Kamis (9/3) di kantor kementerian Koordinator Polhukam memastikan, pemerintah akan terus mendukung upaya pemberantasan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia menyebut akan banyak kasus lain selain kasus korupsi e-KTP yang akan muncul ke publik.
"Kita tunggu nanti bagaimana kinerja KPK untuk menangani ini. Tapi yang pasti kita mendukung semua upaya-upaya pemberantasan korupsi. Korupsi yang kecil-kecil seperti pungli aja kita berantas di kemenkopolhukam, apalagi yang jumlahnya besar. Tentunya kita dukung segala usaha untuk memberantas itu," kata Wiranto.
Wiranto meyakini KPK masih akan terus melanjutkan penyelidikan dan penyidikan kasus ini hingga tuntas. Hal ini perlu dilakukan mengingat muncul nama-nama yang diduga terindikasi menerima aliran dana proyek pengadaan e-KTP.
"Proses itu berlanjut. Kita serahkan kepada proses KPK yang saya atau kita harapkan secara profesional bisa menangani masalah ini, dan kita tidak perlu gaduh lagi karena sudah di tangan lembaga peradilan yang sudah dipercaya masyarakat bisa menangani perkara itu," imbuhnya.
Juru bicara KPK Febri Diansyah kepada VOA mengatakan penyidik KPK akan menyimak fakta-fakta yang muncul di persidangan Tipikor dalam mengembangkan kasus ini.
"Kami tentu hanya bisa menetapkan tersangka baru atau melakukan penyidikan jika ditemukan bukti permulaan yang cukup minimal 2 alat bukti. Kami akan simak fakta-fakta di persidangan yang muncul untuk terus mengembangkan perkara ini," kata Febri Diansyah.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus kepada VOA mengatakan, sebagian dana korupsi dari para tesangka kasus korupsi yang berasal dari pengurus partai politik, umumnya mengalir ke kas keuangan partai politik yang bersangkutan.
"Dalam banyak kesaksian yang diungkapkan oleh beberapa orang yang sudah ditetapkan KPK menjadi tersangka, sebagian dari dana korupsi itu mengalir ke partai politik. Walaupun sejauh ini KPK belum bisa membuktikan. Tapi sinyalemen itu saya kira sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Karena kita tau tata kelola keuangan partai politik memang tertutup," kata Lucius Karus.
Lucius pesimis akan ada perubahan di lembaga Negara seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sehingga menjadi sebuah lembaga yang bebas dari praktek korupsi.
"Lembaga seperti DPR ini belum bisa membuat kita kemudian sangat optimis bahwa korupsi itu perlahan-lahan akan terkikis dari negara kita," imbuhnya.
Sementara itu, kepada VOA, wirausaha muda di Jakarta Yudani mengatakan ia melihat partai politik di Indonesia pasca reformasi semakin berorientasi pada kekuasaan dan uang.
"Partai politik akhirnya hanya berorientasi pada tiga hal. Bagaimana menghimpun kekuatan, lalu merebut kekuasaan, dan bagi-bagi kekayaan. Inilah yang akan menjadi akar yang akan sulit sekali diperangi oleh KPK selaku lembaga yang diberi kewenangan mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia," kata Yudani.
Yudani menambahkan, kepercayaan masyarakat terhadap partai politik akan semakin terkikis mengingat berbagai kasus korupsi yang menjerat para pimpinan dan pengurus partai.
"Kepercayaan masyarakat tentu menjadi pertaruhan. Selama ini masyarakat selalu disuguhi dengan penyimpangan-penyimpangan kekuasaan. Jadi saya kira masyarakat itu akan berada pada dua pilihan. Menjadi apatis, atau kemudian ya melakukan pembiaran, sehingga peranan masyarakat ini bisa membesar menjadi suatu gerakan perlawanan terhadap korupsi, atau bisa juga menganggap ini menjadi sesuatu yang biasa saja," jelasnya.
Sidang perdana kasus korupsi e-KTP pada Kamis (9/3) mengagendakan pembacaan dakwaan terhadap dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, yakni Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Sugiharto, dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman.
Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Jaksa Penuntut umum KPK mengungkapkan puluhan pihak disebut menikmati aliran dana pengadaan KTP Elektronik (e-KTP) tahun anggaran 2011-2012 dari total anggaran sebesar Rp5,95 triliun.Jaksa penuntut umum KPK Irene Putri di pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (9/3) mengatakan, selain memperkaya diri sendiri, perbuatan para terdakwa juga memperkaya orang lain dan korporasi. [aw/lt]