Media massa nasional dan internasional diminta untuk tidak selalu menggunakan isu pelanggaran HAM, untuk meliput situasi di Papua.
Staf Khusus Presiden Yudhoyono untuk urusan luar negeri, Teuku Faizasyah, kepada pers di Jakarta, Kamis, mengatakan bahwa media seharusnya ikut melaporkan pendekatan kesejahteraan rakyat yang sudah diupayakan pemerintah di Papua dan Papua Barat. Sementara media asing dinilai terlalu berfokus pada urusan pelanggaran HAM di kawasan itu, tanpa menanyakan kembali pada sumber-sumber pemerintah.
Teuku Faizasyah mengatakan, “Kita seringkali mempertanyakan pihak-pihak asing yang masih menilai negatif soal penegakan HAM di Indonesia. Kalau ukurannya Indonesia di masa Orde Lama dan Orde Baru, bolehlah tapi sekang Indonesia adalah negara yang sangat perduli pada HAM jadi apakah cocok mengunakan pendekatan yang sama? Dengan terus mengesankan adanya pelanggaran HAM yang sistematis itu ‘kan menarik semacam perspektif bahwa tidak ada perubahan di sana.”
Seterusnya, Faizasyah mengatakan, bahwa masih adanya kelompok di Papua yang ingin memisahkan diri dari Indonesia, juga harus diwaspadai oleh media agar tidak dimanfaatkan pihak-pihak di luar negeri dalam bentuk nota protes dan sebagainya.
Presiden Yudhoyono juga pernah mengungkapkan keberatannya atas publikasi Human Rights Watch. LSM yang berkantor pusat di New York, Amerika Serikat, itu bertubi-tubi menyampaikan protes lewat media, atas kasus penyiksaan warga oleh anggota TNI di Tinggi Nambut, Puncak Jaya, beberapa waktu lalu.
“Memang protes-protes itu tidak berpengaruh tetapi menjadi sumber iritasi bahwa kita dianggap masih membedakan pelaksanaan HAM di Papua dengan alasan lainnya. Tentunya siapapun pasti tersinggung, jika di satu sisi kita berusaha melakukan pendekatan dalam masalah di Papua, tetapi masih dikesankan dan diopinikan bahwa Indonesia masih dikesankan menggunakan cara pandang yang lama,” tambah Teuku Faizasyah.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Eko Maryadi, kepada VOA menilai sebetulnya pemerintah tidak perlu terlalu panik, dan menuntut pemberitaan yang positif dari media. Apalagi, kata Eko, sejak lama para wartawan tahu betapa sulitnya masuk ke Papua, demi kejelasan informasi.
“Jadikan Papua ini provinsi yang aman untuk semua orang termasuk jurnalis. Itu nanti akan hilang sendiri bahwa Papua itu aman, mencekam, karena media bebas melaporkan segala hal di situ,” saran Eko Maryadi.
Menurut Eko Maryadi, semakin pemerintah dan TNI bersikap tertutup atau bahkan defensif, maka laporan mengenai Papua akan selamanya negatif. Untuk itu, AJI meminta pemerintah bersedia membuka akses yang luas bagi awak media melakukan peliputan yang komprehensif, di kawasan rawan konflik tersebut.
“Semakin ditutup suatu tempat maka semakin besar keinginan orang bersuara, semakin dipendam dan ditindas itu orang akan semakin melawan. Jadi kalau media asing dilarang siaran di Papua, maka media lokal akan jadi alternatif,” demikian menurut Eko Maryadi.
AJI menilai tidak mungkin pers hanya menyenangkan pemerintah atau pihak-pihak tertentu. Pelaporan media untuk Papua harus tetap bersandar pada prinsip jurnalistik yang adil dan berimbang.