Staf Khusus Presiden untuk Papua, Lenis Kogoya menyampaikan pesan Presiden Joko Widodo agar permasalahan yang terjadi yang melibatkan mahasiswa Papua dengan sejumlah ormas di Surabaya, dapat diselesaikan dengan baik dengan cara saling memaafkan satu sama lain.
Lenis, yang juga Ketua Masyarakat Adat Tanah Papua, menegaskan, permasalahan yang menimbulkan aksi massa di Papua dan Papua Barat diharapkan tidak lagi dibesar-besarkan, terutama oleh pihak yang menghendaki masalah ini tidak segera selesai.
Dia juga mengajak semua pihak memikirkan strategi pembangunan Papua yang berdampak bagi masyarakat Papua.
“Jadi masalah ini kita tutup, masalah ini tutup saja. Tidak usah dibahas itu. Cukup, nanti kita bicarakan untuk strategi saja, bagaimana kita sebagai anak bangsa untuk membangun Indonesia yang bersama, itu saja dulu," ujar Lenis.
"Jadi kalau membicarakan membesar-besarkan nanti malah jadi masalah. Pokoknya, persoalan ini jangan dibesar-besarkan. Kalau ada yang membesar-besarkan, berarti itu oknum. Siapa dia? Nah,kita harus minta ke pihak keamanan periksa dia, siapa dia itu,” kata Lenis.
Selain meminta maaf kepada masyarakat Papua, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa juga berharap serangkaian pertemuan antara elemen masyarakat Papua dengan Jawa Timur dapat mengembalikan kondisi serta situasi masyarakat yang kondusif.
Khofifah dan Kapolda Jawa Timur menjamin keamanan mahasiswa Papua untuk belajar di Jawa Timur, dan meminta mahasiswa Papua tetap beraktivitas seperti biasa.
“Semua lini akan berusaha, suasana ini harus kita bangun secara kondusif saling membangun kesepahaman. Kemudian ada mutual trust, saling percaya, dan saling menghormati, mutual respect,” kata Khofifah.
Pemerintah, kata Khofifah, juga berencana melakukan sejumlah langkah untuk meningkatkan hubungan baik antara Jawa Timur dan Papua, yang selama ini telah berjalan baik.
Pemerintah berencana membangun asrama mahasiswa nusantara, yang memungkinkan generasi muda dari berbagai daerah dan budaya berjumpa dan bertukar pemahaman mengenai perbedaan yang dimiliki, sehingga dapat terbangun rasa saling menghormati, menghargai dan memahami satu sama lain. Selain itu, juga akan dilakukan kerja sama provinsi kembar antara Jawa Timur dengan Papua dan Papua Barat, dan kerja sama peningkatan sumber daya manusia.
“Kami ingin membangun asrama mahasiswa nusantara, ini sebagai bagian dari laboratorium, dalam tanda petik Kebhinnekaan, supaya proses akulturasi budaya itu bisa berjalan secara alami, saling mengenali bagaimana adat istiadat, budaya, pola pikir, pola sikap dari masing-masing daerah,” lanjut Khofifah.
Rico, selaku pendamping mahasiswa Papua di Surabaya, mengungkapkan pasca peristiwa ini ia berharap kembali terwujud kedamaian dan kerukunan antar anak bangsa, yang ditunjang peran pemerintah yang semakin mewujudkan keadilan sosial termasuk bagi masyarakat Papua.
“Tentu harapan kita adalah boleh terwujud kembali satu kedamaian, satu kesatuan, ketenangan, secara khusus di Kota Surabaya, tentu itu harapan kita. Dan ini akan sangat ditentukan oleh bagaimana pemerintah kita boleh mengambil sikap yang berkeadilan, secara khusus juga untuk adik-adik saya yang ada di asrama Papua,” ujar Rico.
Koordinator Jaringan Gusdurian Surabaya, Yuska Harimurti menyerukan penanganan urusan Papua dapat dilakukan dengan pendekatan budaya, serta mengedepankan segi kemanusiaan. Cara-cara kekerasan tidak selayaknya lagi digunakan oleh pemerintah dan aparat keamanan.
“Kami mendorong, agar kita mengedepankan segi kemanusiaan dalam menyikapi masalah apapun, termasuk untuk urusan Papua. Lakukan pendekatan-pendekatan kultural, dan menghimbau kepada pemerintah agar pada penanganan Papua tidak lagi menggunakan kekerasan, atau menggunakan cara-cara militer,” tutur Yuska.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Federasi KontraS, Andy Irfan mengatakan, pemerintah dan aparat keamanan tidak peka terhadap situasi dan kondisi yang ada di Papua, maupun yang dirasakan masyarakat Papua di mana pun berada. Pada peristiwa penyerangan asrama mahasiswa Papua di Surabaya oleh sejumlah ormas beberapa hari lalu, KontraS menilai pemerintah salah dalam penanganan, termasuk membiarkan aksi kekerasan dan rasial terus terjadi tanpa penegakan hukum yang adil.
Misalnya, Andy mengatakan, polisi tidak perlu bertindak berlebihan dengan membongkar pagar asrama dan menembakkan gas air mata.
"Nah, akibat kesalahan dalam penanganan, maka ini menjadi bumerang dan menimbulkan reaksi yang luar biasa di Papua, dan menjadi problem nasional. Semua orang akhirnya melihat ini menjadi peristiwa yang mengejutkan banyak pihak, ada isu rasialisme dan macam-macam," kata Andy.
"Asrama Papua itu kan sudah langganan, langganan menjadi sasaran kekerasan oleh beberapa ormas. Harusnya polisi bukan memberi ruang kepada ormas-ormas itu untuk melakukan tindakan kekerasan,” kata Andy Irfan. [pr/jm]