JAKARTA —
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat mendesak pemerintah Indonesia menggunakan kewenangan strategis sebagai anggota Dewan Keamanan PBB dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk mendorong penghentian konflik dan kekerasan di Mesir.
Lembaga-lembaga tersebut diantaranya Komisi untuk Orang Hilang dan korban Tindak Kekerasan (KontraS), Srikandi Demokrasi Indonesia, Politik Rakyat dan Perempuan Mahardika. Mereka mengecam segala tindakan kekerasan dan pembunuhan brutal yang dilakukan Militer Mesir.
Yati Andriyani dari KontraS menyatakan pemerintah Indonesia harus berperan aktif dalam menyikapi konflik di Mesir.
Menurutnya hubungan diplomatik antara Indonesia dan Mesir dapat dikatakan terjalin sangat baik, sehingga dapat menjadi posisi tawar bagi Indonesia untuk melakukan pendekatan diplomatis, agar pemerintah Mesir tidak lagi melakukan tindakan kekerasan dalam menghadapi warga sipil serta melindungi warga negaranya.
Pemerintah Indonesia dan Mesir sendiri tambah Yati telah mengalami peningkatan kerja sama ekonomi lebih dari 50 persen setelah terjadinya revolusi Mesir pada 2011 lalu. Peristiwa kekerasan yang terjadi saat ini, lanjutnya, seharusnya menjadi pertimbangan bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan tindakan tegas penghentian kerjasama ekonomi dengan pemerintah Mesir.
“Ini penting ada mediator dalam menengahi konflik yang terjadi di Mesir dan peran ini dapat dilakukan pemerintah Indonesia, diantaranya dengan mendorong PBB untuk melakukan penyelidikan secara independen terhadap dugaan terjadinya kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Mesir,” ujarnya, Minggu (18/8).
“Yang kedua, peran strategis Indonesia bisa digunakan melalui posisi Indonesia yang sangat aktif di dalam OKI. Kalau kita melihat pada deklarasi HAM OKI itu jelas disana disebutkan tentang pentingnya perdamaian, toleransi dan menjaga martabat manusia. Dan posisi Indonesia di OKI bisa digunakan bagi pemerintah Indonesia untuk menghimbau pemerintan Mesir untuk menghentikan segala kekerasan, pembunuhan, ancaman keselamatan bagi semua warga masyarakat sipil yang ada di Mesir.”
Maeda Yoppy dari Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil menyatakan konflik di Mesir bukanlag konflik agama. Warga dunia, lanjutnya, harus memberikan solidaritas kepada rakyat Mesir dan memberikan tekanan politik kepada semua pihak yang bertikai untuk kembali menghargai proses demokrasi.
“Konflik di Mesir bukan konflik agama tetapi memang konflik kekuasaan dan harus dilihat bahwa konflik kekuasaan dampaknya buruk pada nilai-nilai humanisme khususnya perempuan. Jadi saya hanya mengimbau bahwa solidaritas harus muncul tidak hanya dari kelompok Islam tetapi dari berbagai kelompok masyarakat,” ujarnya.
Pengamat Timur Tengah Smith Al Hadar menilai pemerintah Indonesia lambat dalam merespon peristiwa yang terjadi di Mesir.
“Sebagai negara muslim terbesar dunia seharusnya bisa tegas dan tidak terlalu terlambat karenanegara lain bisa melihat sikap Indonesia,” ujarnya.
Kementerian Kesehatan Mesir mencatat sekitar 700 orang korban meninggal dunia dan sekitar 3.717 orang terluka.
Lembaga-lembaga tersebut diantaranya Komisi untuk Orang Hilang dan korban Tindak Kekerasan (KontraS), Srikandi Demokrasi Indonesia, Politik Rakyat dan Perempuan Mahardika. Mereka mengecam segala tindakan kekerasan dan pembunuhan brutal yang dilakukan Militer Mesir.
Yati Andriyani dari KontraS menyatakan pemerintah Indonesia harus berperan aktif dalam menyikapi konflik di Mesir.
Menurutnya hubungan diplomatik antara Indonesia dan Mesir dapat dikatakan terjalin sangat baik, sehingga dapat menjadi posisi tawar bagi Indonesia untuk melakukan pendekatan diplomatis, agar pemerintah Mesir tidak lagi melakukan tindakan kekerasan dalam menghadapi warga sipil serta melindungi warga negaranya.
Pemerintah Indonesia dan Mesir sendiri tambah Yati telah mengalami peningkatan kerja sama ekonomi lebih dari 50 persen setelah terjadinya revolusi Mesir pada 2011 lalu. Peristiwa kekerasan yang terjadi saat ini, lanjutnya, seharusnya menjadi pertimbangan bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan tindakan tegas penghentian kerjasama ekonomi dengan pemerintah Mesir.
“Ini penting ada mediator dalam menengahi konflik yang terjadi di Mesir dan peran ini dapat dilakukan pemerintah Indonesia, diantaranya dengan mendorong PBB untuk melakukan penyelidikan secara independen terhadap dugaan terjadinya kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Mesir,” ujarnya, Minggu (18/8).
“Yang kedua, peran strategis Indonesia bisa digunakan melalui posisi Indonesia yang sangat aktif di dalam OKI. Kalau kita melihat pada deklarasi HAM OKI itu jelas disana disebutkan tentang pentingnya perdamaian, toleransi dan menjaga martabat manusia. Dan posisi Indonesia di OKI bisa digunakan bagi pemerintah Indonesia untuk menghimbau pemerintan Mesir untuk menghentikan segala kekerasan, pembunuhan, ancaman keselamatan bagi semua warga masyarakat sipil yang ada di Mesir.”
Maeda Yoppy dari Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil menyatakan konflik di Mesir bukanlag konflik agama. Warga dunia, lanjutnya, harus memberikan solidaritas kepada rakyat Mesir dan memberikan tekanan politik kepada semua pihak yang bertikai untuk kembali menghargai proses demokrasi.
“Konflik di Mesir bukan konflik agama tetapi memang konflik kekuasaan dan harus dilihat bahwa konflik kekuasaan dampaknya buruk pada nilai-nilai humanisme khususnya perempuan. Jadi saya hanya mengimbau bahwa solidaritas harus muncul tidak hanya dari kelompok Islam tetapi dari berbagai kelompok masyarakat,” ujarnya.
Pengamat Timur Tengah Smith Al Hadar menilai pemerintah Indonesia lambat dalam merespon peristiwa yang terjadi di Mesir.
“Sebagai negara muslim terbesar dunia seharusnya bisa tegas dan tidak terlalu terlambat karenanegara lain bisa melihat sikap Indonesia,” ujarnya.
Kementerian Kesehatan Mesir mencatat sekitar 700 orang korban meninggal dunia dan sekitar 3.717 orang terluka.