Pemerintah secara resmi melarang ekspor bahan baku minyak goreng yakni refined bleached deodorized (RBD) palm olein. Menko Perekonomian Airlangga Hartato mengatakan sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo, pelarangan ekspor tersebut akan dimulai pada tanggal 28 April pukul 00.00 WIB.
Hal ini dilakukan mengingat harga minyak goreng curah di pasaran masih berkisar di atas Rp14 ribu per liter. Pelarangan ekspor tersebut akan dilakukan sampai harga menjadi stabil.
“Seperti yang telah dijelaskan oleh Bapak Presiden, telah diputuskan melakukan pelarangan ekspor Refine Bleached Deadorized (RBD) Palm Olein ataupun yang dikenal dengan nama RBD Palm Olein sejak tanggal 28 April pukul 00.00 WIB sampai tercapainya harga minyak goreng curah sebesar Rp14 ribu per liter di pasar tradisional,” ungkap Airlangga dalam telekonferensi pers di Jakarta, Selasa (26/4) malam.
Kebijakan ini katanya akan diterbitkan melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) dan akan diawasi oleh Bea Cukai agar tidak terjadi penyimpangan. Ia menjelaskan, larangan ekspor untuk bahan baku minyak goreng ini hanya berlaku untuk produk RBD Palm Olein dengan tiga kode harmonized system (HS) yakni 15119036, 15119037, dan 15119039.
Sedangkan untuk produk RBD Palm Olein dengan HS lain, diharapkan bisa diserap oleh perusahaan atau pabrik dengan membeli tandan buah segar (TBS) petani sawit dengan harga yang wajar. “Jadi sekali lagi ditegaskan yang dilarang adalah RBD Palm Olein yang HS ujungnya 36,37, dan 39,” tuturnya.
Lebih jauh Airlangga menjelaskan bahwa Permendag yang akan diterbitkan nanti akan sesuai dengan aturan Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO). Ia juga menegaskan bahwa larangan ekspor untuk produk RBD Palm Olein ini berlaku untuk seluruh produsen yang menghasilkan produk tersebut.
“Kemudian pengawasan oleh Bea Cukai juga diikuti oleh satgas pangan, dan setiap pelanggaran akan ditindak tegas sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan pengawasan terus menerus juga selama libur Idul Fitri nanti. Evaluasi akan dilakukan secara berkala terkait dengan penegakan pelarangan ekspor tersebut,” jelasnya.
Airlangga menggarisbawahi nantinya distribusi minyak goreng kepada masyarakat dengan harga Rp14 ribu per liter akan dilakukan dengan dua mekanisme. Pertama, pemerintah akan melakukan pembayaran selisih harga oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dengan tanpa mengurangi good governance dari BPDPKS yang diberikan kepada produsen.
“Kemudian penugasan kepada Bulog untuk melakukan distribusi minyak goreng curah ke masyarakat di pasar-pasar tradisional terutama minyak goreng yang berasal dari kawasan atau pelarangan ekspor yang produsennya tidak memiliki jaringan distribusi. Jadi kepada produsen yang biasanya ekspor, tidak punya jaringan distribusi, maka diberikan penugasan kepada Bulog untuk melakukan distribusinya,” pungkasnya.
Sebelumnya, petani sawit mengaku keberatan dengan kebijakan pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng.
APKASINDO Minta Tetap Buka Keran Ekspor
Anggota Dewan Pakar Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Wayan Supadno meminta agar pemerintah tetap membuka keran ekspor CPO dan minyak goreng. Pasalnya, kebijakan pelarangan ekspor tersebut akan mengancam kehidupan 2,6 juta kepala keluarga petani sawit yang selama ini menggantungkan hidupnya dari ekspor sawit.
“Produksi CPO kita itu besar 47 juta ton (per tahun), sementara yang diekspor 30 juta ton. Ketika itu di setop maka sebagian tidak laku, dan ketika tidak laku otomatis dampaknya kepada petani, karena asalnya minyak goreng itu dari CPO dan CPO itu dari Tandan Buah Segar (TBS) petani. Kami selaku petani sejujurnya keberatan karena menyakitkan sekali,” ungkapnya kepada VOA.
Lebih jauh, Wayan menjelaskan penghentian ekspor ini juga akan merugikan negara. Pasalnya, dengan pelarangan ekspor ini negara akan kehilangan sumber pemasukan negara yakni devisa senilai Rp510 triliun per tahun, pajak ekspor Rp85 triliun per tahun dan pungutan ekspor oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS )senilai Rp71 triliun per tahunnya.
“Ini kan angka besar yang tidak tergantikan oleh komoditi yang lain. Ketika ini disetop akan jadi ancaman serius pendapatan negara, selain ancaman serius bagi pendapatan negara, akan mengancam kelangsungan hidup petani sawit,” tuturnya.
Ia berharap pemerintah serius dalam menangani permasalahan ini, terutama menindak oknum-oknum pengusaha nakal yang berdampak kepada langkanya ketersediaan minyak goreng utamanya untuk kalangan masyarakat menengah ke bawah. [gi/em]