DENPASAR —
Sebanyak 100 bus berbahan bakar biodiesel dari minyak sawit yang merupakan kendaraan resmi Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (KTT APEC) diluncurkan di Nusa Dua Bali pada Jumat Pagi (4/10).
Menteri Perindustrian MS Hidayat dalam keteranganya mengungkapkan peluncuran kendaraan ramah lingkungan ini merupakan bagian dari rencana pemerintah Indonesia untuk mengembangkan energi berkelanjutan.
Langkah ini juga dalam upaya mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan bakar minyak (BBM) dan dalam upaya menggerakkan industri produksi biodiesel, ujarnya.
“…Menggerakkan dan mendorong produksi biodiesel di Indonesia sebagai pengganti BBM dan gerakan ini akan kami mulai terus menerus, dan mudah-mudahan dalam waktu yang tidak lama, Indonesia akan dapat menyelamatkan negara Indonesia dengan masyarakatnya dari penggunaan BBM yang berlebihan. Kita bisa hemat devisa kita,” ujarnya.
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan produksi kendaraan dengan bahan bakar biodiesel akan menyerap cukup banyak tenaga kerja, sehingga bisa menopang perekonomian Indonesia. Selain itu, produksi biodiesel yang berasal dari minyak sawit sangat mungkin untuk dikembangkan di Indonesia dan potensinya cukup besar.
“Melihat prediksi produksi kelapa sawit ke depan pada 2025 sampai 2030 tentunya produksi kita sangat bisa mencapai level 50 juta ton atau bahkan lebih dari itu. Dan dengan kondisi terjadinya saturasi permintaan global, ini sangat masuk akan dilakukan penggunaan biodiesel di dalam negeri,” ujarnya.
Sementara Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Mahendra Siregar menyampaikan sudah saatnya Indonesia meningkatkan daya tahan ekonomi melalui pemanfaatan energi biodiesel. Kenyataanya saat ini kebijakan energi di tanah air justru tidak memiliki daya tahan dan lemah, ujarnya.
“Pertama lemah terhadap ketergantungan impor, sehingga menyebabkan kita sekarang ikut merasakan dampaknya neraca transaksi berjalan yang defisit terus menerus. Kedua lemah terhadap ketahanan fiskal karena kenaikan dari konsumsi BBM apalagi yang bersubsidi menyebabkan ketahanan fiskal digerogoti,” ujarnya.
Menurut Mahendra, kelemahan ketiga adalah kelemahan karena ketergantungan yang terlalu besar bagi pasar sawit itu sendiri di pasar internasional. Mahendra berharap para pengusaha kelapa sawit tidak lagi berbicara masalah perluasan lahan tetapi lebih pada optimalisasi produksi dari kebun yang ada.
Menteri Perindustrian MS Hidayat dalam keteranganya mengungkapkan peluncuran kendaraan ramah lingkungan ini merupakan bagian dari rencana pemerintah Indonesia untuk mengembangkan energi berkelanjutan.
Langkah ini juga dalam upaya mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan bakar minyak (BBM) dan dalam upaya menggerakkan industri produksi biodiesel, ujarnya.
“…Menggerakkan dan mendorong produksi biodiesel di Indonesia sebagai pengganti BBM dan gerakan ini akan kami mulai terus menerus, dan mudah-mudahan dalam waktu yang tidak lama, Indonesia akan dapat menyelamatkan negara Indonesia dengan masyarakatnya dari penggunaan BBM yang berlebihan. Kita bisa hemat devisa kita,” ujarnya.
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan produksi kendaraan dengan bahan bakar biodiesel akan menyerap cukup banyak tenaga kerja, sehingga bisa menopang perekonomian Indonesia. Selain itu, produksi biodiesel yang berasal dari minyak sawit sangat mungkin untuk dikembangkan di Indonesia dan potensinya cukup besar.
“Melihat prediksi produksi kelapa sawit ke depan pada 2025 sampai 2030 tentunya produksi kita sangat bisa mencapai level 50 juta ton atau bahkan lebih dari itu. Dan dengan kondisi terjadinya saturasi permintaan global, ini sangat masuk akan dilakukan penggunaan biodiesel di dalam negeri,” ujarnya.
Sementara Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Mahendra Siregar menyampaikan sudah saatnya Indonesia meningkatkan daya tahan ekonomi melalui pemanfaatan energi biodiesel. Kenyataanya saat ini kebijakan energi di tanah air justru tidak memiliki daya tahan dan lemah, ujarnya.
“Pertama lemah terhadap ketergantungan impor, sehingga menyebabkan kita sekarang ikut merasakan dampaknya neraca transaksi berjalan yang defisit terus menerus. Kedua lemah terhadap ketahanan fiskal karena kenaikan dari konsumsi BBM apalagi yang bersubsidi menyebabkan ketahanan fiskal digerogoti,” ujarnya.
Menurut Mahendra, kelemahan ketiga adalah kelemahan karena ketergantungan yang terlalu besar bagi pasar sawit itu sendiri di pasar internasional. Mahendra berharap para pengusaha kelapa sawit tidak lagi berbicara masalah perluasan lahan tetapi lebih pada optimalisasi produksi dari kebun yang ada.