Wakil-wakil pemerintah Suriah memutuskan untuk menghadiri pembicaraan itu setelah pembahasan awal bulan ini dengan Utusan Khusus PBB Staffan de Mistura di Damaskus. Bagi utusan PBB itu, ini merupakan langkah penting pertama.
"Saya harus selalu optimistis," ujarnya.
Tetapi menyiapkan pembicaraan untuk melakukan perundingan terbukti merupakan proses yang sulit dan rapuh. Perundingan itu akan dimulai di tengah meningkatnya kekerasan. Dua bom menewaskan 19 orang di Homs, kubu kuat pemerintah Suriah hari Selasa. Kelompok ISIS mengklaim bertanggung jawab.
Sebagai kelompok teroris menurut PBB, militan ISIS tidak diundang. Para penyelenggara melakukan semua yang mungkin untuk mencegah gagalnya perundingan sebelum dimulai, dan tidak mengikutsertakan pihak-pihak yang dianggap akan mengganggu jalannya perundingan.
Setelah Turki mengancam akan menarik dukungan atas perundingan itu, muncul kabar dari Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius bahwa partai Kurdi Suriah yang didukung Rusia mundur.
"PYD adalah kelompok Kurdi yang paling banyak membuat onar. De Mistura memberitahu saya bahwa dia tidak mengundang mereka," ujarnya.
Setibanya di Jenewa, para pihak-pihak yang akan berunding akan ditempatkan di ruang terpisah, tanpa pertemuan langsung.
Yang paling penting, kata para pengamat, adalah ada sesuatu yang dilakukan. David Butter dari Chatham House, mengatakan, "Ini adalah penilaian realistis dari konsensus internasional bahwa perlu ada atas semua semacam proses politik, mungkin pengakuan atas semua pihak, termasuk partai-partai oposisi, bahwa merekasudah capai menghadapi konflikyang telah sangat merugikan dalam segala bidang, kemanusiaan dan lain-lain. Jadi ada semacam proses perdamaian yang sedang berjalan."
Pihak oposisi telah menetapkan tujuan. Mereka ingin, setidaknya, gencatan senjata yang luas, diakhirinya pengepungan dan diberinya bantuan kemanusiaan bagi semua bagian Suriah. [vm/ii]