Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan pemerintah akan segera memusnahkan vaksin COVID-19 kedaluwarsa yang saat ini menumpuk di gudang-gudang di seluruh pelosok Tanah Air.
“Tadi kami mengajukan usulan kepada Bapak Presiden agar bisa dilakukan pemusnahan di daerah-daerah untuk vaksin-vaksin yang memang expiry date-nya sudah lewat dan arahan Bapak Presiden agar pemusnahan itu dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku, dan didampingi dengan BPKP, Jaksa Agung dan aparat-aparat penegak hukum lainnya sehingga dibuat menjadi lebih transparan, dan terbuka,” ungkap Budi dalam telekonferensi pers di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (31/5).
Budi menjelaskan, pemusnahan ini dilakukan karena penumpukan vaksin COVID-19 yang telah kedaluwarsa tersebut mulai menghambat kebijakan pemerintah yang akan melaksanakan vaksinasi rutin dalam program bulan imunisasi anak nasional.
“Kita merasa lemari esnya penuh diisi oleh vaksin-vaksin COVID-19 yang memang sudah expired,” tuturnya.
Lebih lanjut Budi memaparkan, mayoritas vaksin yang sudah masuk ke dalam masa kedaluwarsa adalah vaksin COVID-19 yang berasal dari donasi atau hibah dari negara-negara maju. Menurutnya, vaksin corona hibah tersebut rata-rata memiliki masa pemakaian yang cenderung pendek, yakni satu hingga tiga bulan.
Dalam kesempatan ini, Budi tidak menyebut angka pasti dari vaksin COVID-19 yang akan dimusnahkan tersebut. Namun, katanya, sampai April 2022 sudah ada 474 juta dosis vaksin yang masuk ke Indonesia. Dari jumlah tersebut, 130 juta dosis vaksin di antaranya merupakan vaksin hibah atau donasi.
Lebih lanjut, ia menjelaskan mulai April sampai akhir tahun ini, Indonesia akan kedatangan lagi vaksin COVID-19 sebanyak 74 juta dosis, di mana sebanyak 50 juta dosis vaksin di antaranya merupakan vaksin hibah. Presiden Jokowi, ujar Budi, mengarahkan bahwa sisa vaksin mendatang harus digunakan lebih banyak untuk vaksin COVID-19 penguat atau booster mengingat capaiannya yang masih berada di level 25 persen dari target populasi.
Laju Vaksinasi
Dalam kesempatan ini Budi menjelaskan banyaknya hibah atau donasi vaksin COVID-19 dari berbagai negara maju kepada Indonesia dikarenakan cepatnya laju vaksinasi di Tanah Air yang bahkan sempat menyentuh 2,5 juta dosis per hari.
Pemerintah pun menyadari durasi masa kedaluwarsa yang cenderung lebih cepat dari vaksin-vaksin hibah tersebut. Namun, untuk menjaga ketersediaan stok vaksin di Aanah air, pihaknya pun tetap menerima vaksin tersebut.
“Yang dialihkan ke kita rata-rata expiry date-nya pendek antara satu sampai tiga bulan. Tapi karena waktu di awal tahun kita merasa butuh dan ini gratis, vaksinnya bagus-bagus, kenapa tidak? itu yang sekarang disuntikkan, itulah penyebabnya kenapa expired, karena jangka waktu expiry date-nya sudah tinggal satu sampai tiga bulan, terutama vaksin donasi,” kata Budi.
Selain itu, Budi juga mengakui memang terjadi perlambatan laju vaksinasi COVID-19 seiring dengan membaiknya kondisi pandemi di dalam negeri sehingga akhirnya banyak vaksin yang tidak terpakai.
Pihak Kemenkes pun melaporkan kepada Presiden Jokowi bahwa target vaksinasi lengkap dua dosis sebanyak 90 persen dan target vaksin booster atau penguat 80 persen kemungkinan tidak akan tercapai pada tahun ini.
“Tapi realitasnya kita lihat juga di negara-negara maju lainnya kalau sudah dapat 70 persen dari populasi itu biasanya stagnan, dan booster-nya juga di negara maju malah 40 persenan, Jadi tadi kami juga berdiskusi dengan Bapak Presiden bahwa target yang awal itu tidak terlalu realistis, yang lebih realistis adalah 70 persen dari populasi itu yang dapat dosis lengkap dan booster-nya 50 persen. Dengan adanya penurunan ini kan kebutuhan vaksinnya jadi lebih sedikit,” kata Budi.
Perbaikan Strategi Komunikasi Risiko
Ahli Epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengungkapkan adanya vaksin COVID-19 yang terbuang karena telah memasuki masa kedaluwarsa memang lazim terjadi, bahkan di negara-negara maju.
Namun, yang perlu mendapat perhatian adalah faktor penyebab utama dari terbuangnya vaksin tersebut. Menurutnya, permasalahan ini tetap harus dievaluasi oleh pemerintah agar kelak kejadian serupa tidak terjadi.
“Ini harus ada evaluasi dari pemerintah, karena misalnya kalau sudah dibuka (ampul vaksin) ternyata ada yang dibuang ini relatif bisa diterima sebenarnya karena misalnya orang yang ditargetkan tidak datang. Tapi yang kalau ampulnya belum dibuka terus expired, lalu harus dibuang, itu lebih besar kesalahannya yang termasuk ke dalam faktor administrasi atau perencanannya karena berarti mungkin tersimpan lama, atau sistem distribusi yang terlalu birokratif dan sebagainya,” ungkapnya kepada VOA.
Senada dengan Menkes Budi, Dicky mengakui jika cakupan vaksinasi sudah mencapai level psikologis, yakni sebanyak 70-80 persen dari total populasi, maka akan lebih sulit untuk menyelesaikannya. Menurutnya, pemerintah pasti akan menemui berbagai hambatan baik dari sisi geografis maupun dari sisi kelompok masyarakat yang sulit diliterasi dan dipersuasi.
Maka dari itu, menurut Dicky, diperlukan strategi komunikasi risiko kepada masyarakat yang lebih baik terkait pentingnya vaksinasi dalam masa pandemi. Menurutnya, imbauan Jokowi kepada masyarakat untuk segera mendapatkan vaksinasi COVID-19 sebanyak tiga dosis, harus diiringi dengan tindak lanjut oleh pemerintah daerah masing-masing.
“Di bawah juga sama, bahwa semua harus menekankan situasi masih pandemi, adanya pelonggaran bukan berarti harus berlebihan. Jadi hal-hal yang sifatnya rasa aman yang berlebihan, atau optimisme yang berlebihan harus dihindari, karena kalau tidak cakupan vaksinasinya jadi sulit, artinya harapan Presiden tidak tercapai karena tidak didukung dengan strategi komunikasi risiko yang baik,” pungkasnya. [gi/lt]