Keputusan majelis hakim di Pengadilan Negeri Palembang yang diketuai oleh Parlas Nababan yang membebaskan PT Bumi Mekar Hijau (BMH) dari gugatan pemerintah, menyulut emosi masyarakat. Apalagi, gugatan itu dilayangkan sebagai tindak lanjut penyelidikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, atas kebakaran hutan dan lahan dalam dua tahun terakhir.
Bentuk kemarahan masyarakat itu diwujudkan dalam berbagai cara. Situs Pengadilan Negeri Palembang diretas oleh orang tidak dikenal, dan wajah Parlas Nababan disebarkan di media sosial, lengkap dengan segala caci maki masyarakat.
Salah satu alasan yang disampaikan hakim dalam keputusannya menolak gugatan pemerintah adalah karena lahan yang terbakar dapat ditanami lagi. Juga hakim menyatakan, tidak ada hubungan sebab akibat yang jelas antara kesalahan terkait kebakaran lahan dengan kerugian yang timbul.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan, Hadi Jatmika yang memantau persidangan, meyakini keputusan hakim ini patut dipertanyakan. Selama proses persidangan, Walhi telah mendesak pengadilan agar menugaskan hakim yang bersertifikat lingkungan. Namun tuntutan ini tidak dipenuhi.
Dikatakan Hadi, kemenangan PT BMH juga semakin ironis, karena hanya dua hari sebelumnya, pengadilan setempat menghukum warga pelaku pembakaran hutan dan lahan. Patut dipertanyakan, ketika menghadapi perusahaan besar, pengadilan tidak dapat berlaku sama.
“Mengapa hakim ini memenangkan tergugat (PT BMH), padahal di sisi lain, dua hari sebelum hakim ini memutuskan, ada dua orang warga yang dituduh melakukan pembakaran di lahan konsesi perusahaan, yang dikenakan pidana kurungan lima tahun dan denda ratusan juta rupiah. Nah, perusahaan yang tidak terbantahkan dari para saksi dan bukti yang diajukan, bahwa memang telah terjadi kebakaran di lahan milik PT Bumi Mekar Hijau, malah dibebaskan,” kata Hadi Jatmika.
Kepala Hubungan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Eka Widodo Soegiri mengaku pihaknya sudah melakukan berbagai persiapan untuk proses banding kasus ini. Kementerian telah melakukan konsolidasi internal dan eksternal. Selain itu, pihaknya juga meminta pandangan dan masukan para ahli hukum. Eka menegaskan, pihaknya serius dalam proses hukum karena kasus ini menyangkut harga diri bangsa.
“Kita harus optimis. Mengapa? Karena gugatan perdata ini diajukan ke pengadilan negeri karena wujud tanggung jawab pemerintah, untuk melindungi masyarakatnya, rakyatnya dan sumber daya alamnya, yang terganggu oleh pembakaran lahan dan hutan. Dan yang kedua adalah menegakkan martabat dan harga diri bangsa. Karena dampak kegiatan pembakaran lahan ini tidak hanya di sekitar lokasi, tetapi juga sampai ke manca negara,” kata Eka Widodo Soegiri.
Eka menambahkan, Kementeriannya kini sedang menyelesaikan berkas untuk sekitar 56 perusahaan yang diduga terkait dengan kebakaran hutan dan lahan. Proses hukum ini akan memakan waktu yang lama, dengan cakupan wilayah yang luas.
“Kepada entitas yang terbukti melakukan pelanggaran, ada sanksi administratif. PT Bumi Mekar Hijau sudah memperoleh sanksi administratif dengan dibekukan oleh Kementerian LHK, kemudian kita dorong ke pengadilan melalui perdata dan pidana,” imbuhnya.
PT BMH dituntut secara perdata oleh pemerintah sebesar Rp 7,9 triliun. Sebesar Rp 2,6 triliun diajukan sebagai ganti rugi kerusakan lahan dan sisanya adalah biaya perbaikan lahan seluas 20 ribu hektar. Kebakaran lahan selama 2015 di Sumatera dan Kalimantan, telah menyebabkan setidaknya 10 korban meninggal, lebih setengah juta orang terkena penyakit saluran pernafasan dari 43 juta orang yang terpapar kabut asap, dan dampak ekonomi setidaknya 200 triliun rupiah. [ns/em]