JAKARTA —
Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa baru-baru ini meminta negara-negara di seluruh dunia melarang praktek mutilasi atau khitan pada alat kelamin perempuan. Praktek ini dianggap sebagai tindakan keji dan telah mengancam sekitar tiga juta gadis setiap tahunnya.
Meskipun ada permintaan tersebut, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi di Jakarta, Selasa menegaskan pemerintah Indonesia tidak akan melarang sunat pada perempuan karena sunat perempuan yang ada di Indonesia tidak sama dengan yang terjadi di Afrika.
Berdasarkan penelitian, menurut Nafisiah Mboi, sunat perempuan di Indonesia tidak menyebabkan kerusakan dan tidak menyebabkan dampak negatif pada anak perempuan itu sendiri. Selain itu, sunat perempuan yang ada di Indonesia merupakan bagian dari ketentuan agama Islam.
Sedangkan di Afrika, Female Genital Mutilation (mutilasi alat kelamin perempuan ) sangat melanggar hak asasi perempuan dan secara medis juga sangat buruk.
Dia juga menyatakan pihaknya tidak akan mencabut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) tahun 2010 tentang sunat perempuan karena tidak bertentangan dengan aturan hukum yang ada di Indonesia maupun aturan agama.
Nafsiah Mboi mengatakan, "Di Afrika, itu perempuan waktu menjelang dewasa itu dilakukan mutilation, pengrusakan alat kelaminnya dengan maksud supaya pertama, jangan melakukan hubungan seks sebelum menikah. Kedua, kalau dia melakukan seks dengan suaminya katanya dia tidak boleh merasakan kenikmatan. Di Afrika itu juga bukan bagian dari agama. Jadi bedakan situasinya dengan Indonesia. Tidak ada bukti-bukti bahwa di Indonesia, sunat itu berbahaya."
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sejumlah ormas Islam menolak upaya pelarangan khitan perempuan oleh pihak mana pun .
Asroruniam Saleh dari Komisi Fatwa Mejelis Ulama Indonesia mengatakan pihaknya telah mengeluarkan fatwa bahwa khitan bagi perempuan adalah "makrumah" atau ibadah yang dianjurkan.
Menurut Asroruniam, tidak ada satu ulama pun yang melarang khitan bagi perempuan sehingga setiap rumah sakit di Indonesia harus menerima sunat perempuan.
Asroruniam menjelaskan, Islam juga telah mengatur tata cara khitan perempuan. Dia menjelaskan, praktek khitan perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan. Sunat perempuan lanjutnya cukup dengan menghilangkan selaput yang menutupi klitoris.
"Masalah khitan bukan terminologi medis tetapi terminologi agama sehingga menentukan boleh tidaknya bukan karena pertimbangan medis tetapi pertimbangan agama. Kemudian pelaksanaannya harus memperhatikan kaidah-kaidah keselamatan jiwa dan juga mencegah terjadinya hal-hal yang membahayakan," ujar Asroruniam Saleh.
Sementara itu, Kepala Lembaga Kependudukan dan Gender Universitas Yarsi, jakarta, Professor Jurnalis Udin menilai sunat bagi perempuan dari segi kesehatan tidak memiliki manfaat.
Jurnalis Udin menjelaskan, "Pertama dari segi kesehatan tidak ada guna, yang ada malah kerugian karena ada perlukaan, pendarahan kemungkinan kalau terjadi infeksi, jadi tidak ada manfaat."
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sekitar 140 juta gadis maupun perempuan dewasa mengalami praktik mutilasi kelamin.
Menurut WHO, praktik sunat perempuan ini lazim berlangsung di Afrika dan sebagian lain di Timur Tengah dan Asia. Praktik yang populer disebut sunat ini diyakini untuk alasan budaya, agama, maupun sosial.
Meskipun ada permintaan tersebut, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi di Jakarta, Selasa menegaskan pemerintah Indonesia tidak akan melarang sunat pada perempuan karena sunat perempuan yang ada di Indonesia tidak sama dengan yang terjadi di Afrika.
Berdasarkan penelitian, menurut Nafisiah Mboi, sunat perempuan di Indonesia tidak menyebabkan kerusakan dan tidak menyebabkan dampak negatif pada anak perempuan itu sendiri. Selain itu, sunat perempuan yang ada di Indonesia merupakan bagian dari ketentuan agama Islam.
Sedangkan di Afrika, Female Genital Mutilation (mutilasi alat kelamin perempuan ) sangat melanggar hak asasi perempuan dan secara medis juga sangat buruk.
Dia juga menyatakan pihaknya tidak akan mencabut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) tahun 2010 tentang sunat perempuan karena tidak bertentangan dengan aturan hukum yang ada di Indonesia maupun aturan agama.
Nafsiah Mboi mengatakan, "Di Afrika, itu perempuan waktu menjelang dewasa itu dilakukan mutilation, pengrusakan alat kelaminnya dengan maksud supaya pertama, jangan melakukan hubungan seks sebelum menikah. Kedua, kalau dia melakukan seks dengan suaminya katanya dia tidak boleh merasakan kenikmatan. Di Afrika itu juga bukan bagian dari agama. Jadi bedakan situasinya dengan Indonesia. Tidak ada bukti-bukti bahwa di Indonesia, sunat itu berbahaya."
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sejumlah ormas Islam menolak upaya pelarangan khitan perempuan oleh pihak mana pun .
Asroruniam Saleh dari Komisi Fatwa Mejelis Ulama Indonesia mengatakan pihaknya telah mengeluarkan fatwa bahwa khitan bagi perempuan adalah "makrumah" atau ibadah yang dianjurkan.
Menurut Asroruniam, tidak ada satu ulama pun yang melarang khitan bagi perempuan sehingga setiap rumah sakit di Indonesia harus menerima sunat perempuan.
Asroruniam menjelaskan, Islam juga telah mengatur tata cara khitan perempuan. Dia menjelaskan, praktek khitan perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan. Sunat perempuan lanjutnya cukup dengan menghilangkan selaput yang menutupi klitoris.
"Masalah khitan bukan terminologi medis tetapi terminologi agama sehingga menentukan boleh tidaknya bukan karena pertimbangan medis tetapi pertimbangan agama. Kemudian pelaksanaannya harus memperhatikan kaidah-kaidah keselamatan jiwa dan juga mencegah terjadinya hal-hal yang membahayakan," ujar Asroruniam Saleh.
Sementara itu, Kepala Lembaga Kependudukan dan Gender Universitas Yarsi, jakarta, Professor Jurnalis Udin menilai sunat bagi perempuan dari segi kesehatan tidak memiliki manfaat.
Jurnalis Udin menjelaskan, "Pertama dari segi kesehatan tidak ada guna, yang ada malah kerugian karena ada perlukaan, pendarahan kemungkinan kalau terjadi infeksi, jadi tidak ada manfaat."
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sekitar 140 juta gadis maupun perempuan dewasa mengalami praktik mutilasi kelamin.
Menurut WHO, praktik sunat perempuan ini lazim berlangsung di Afrika dan sebagian lain di Timur Tengah dan Asia. Praktik yang populer disebut sunat ini diyakini untuk alasan budaya, agama, maupun sosial.