Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan saat ini layanan air minum perpipaan memenuhi 65 persen kebutuhan layanan air minum di DKI. Situasi itu menyebabkan 35 persen kebutuhan air minum menggunakan air tanah secara terus menerus sehingga mendorong terjadinya penurunan permukaan tanah.
“Hari ini isu Jakarta tenggelam menjadi alarm bagi pemerintah. Salah satu penyebabnya adalah penggunaan air tanah secara terus menerus oleh masyarakat. Pemerintah merespon hal tersebut dan mengambil inisiatif untuk mengurangi dan menghentikan pemanfaatan air tanah di Jakarta dengan penyediaan air minum yang mencukupi bagi masyarakat Jakarta,” papar Luhut Binsar Pandjaitan dalam konferensi pers, Senin (3/1), seusai menyaksikan penandatanganan Nota Kesepakatan (MoU) Sinergi dan Dukungan Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Dijelaskannya melalui proyek itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berharap dapat menyediakan suplai dan nfrastruktur distribusi tambahan yang dapat menutupi kebutuhan yang tersisa.
“Tahun 2030 Jakarta (diharapkan akan, red) telah mampu mencapai 100 persen akses layanan air minum perpipaan. Jadi hanya delapan tahun dari sekarang. Untuk itu perlu komitmen bersama untuk mengatasi masalah ketersediaan air sebagai kebutuhan dasar masyarakat Jakarta, sekaligus sebagai solusi pencegahan penurunan permukaan tanah di Jakarta,” kata Luhut.
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono menjelaskan secara keseluruhan terdapat empat Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) yang akan dibangun hingga 2030 untuk memenuhi kebutuhan air minum perpipaan DKI Jakarta yaitu SPAM Jatiluhur 1, SPAM Karian-Serpong, SPAM Djuanda 2 dan SPAM Buaran.
“Mudah-mudahan pada tahun 2030 semua penduduk di Jakarta bisa dilayani dengan air minum per pipaan sehingga harapan kita semua untuk bisa mengendalikan pemanfaatan air tanah bisa kita laksanakan,” kata Basuki Hadimuljono.
Laju Penurunan Permukaan Tanah
Profesor Eddy Hermawan, Peneliti Ahli Utama dari Pusat Riset dan Teknologi Atmosfer, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam diskusi bertema ‘Benarkah Jakarta dan Pantura Akan Tenggelam?”, Oktober 2021 menjelaskan, hasil perhitungan laju rata-rata penurunan muka tanah di DKI Jakarta dan sekitarnya selama periode 2015-2020 bervariasi antara 0,1 hingga delapan sentimeter per tahun.
Kondisi ini juga dialami kota-kota lain di Pantai Utara Jawa (Pantura) yaitu Cirebon (0,3-4,0 cm / tahun), Semarang (0,9-6,0 cm / tahun), Surabaya (0,3-4,3 cm/tahun dan Pekalongan (2,1-11 cm/tahun). Penurunan permukaan tanah itu meningkatkan resiko banjir pesisir (rob). Dijelaskannya proyeksi masuknya air laut ke Jakarta pada tahun 2050 baru mencapai 25 persen.
“Jakarta memang memiliki potensi tenggelam bukan hanya karena faktor sea level raise (kenaikan permukaan laut) semata yang memang itu sangat kecil hanya sekitar 3 milimeter per year (tahun). Yang sangat terpengaruh di Jakarta dan juga Pantura pada umumnya adalah land subsidence yang ini memang sudah tidak bisa dikendalikan lagi,” papar Eddy Hermawan.
Dijelaskannya untuk menyelamatkan Jakarta dan Pantura agar tidak lagi tmengalami kerusakan lingkungan di sepanjang pesisir Pantura, perlu dipertimbangkan pembuatan bitting gesik dan hutan mangrove yang terbukti terbukti cukup efektif dalam meredam laju masuknya rob ke daratan. [yl/ab]