Upaya pemerintah Australia dan Selandia Baru untuk mengatasi ekstremisme di internet baru-baru ini memunculkan lagi perdebatan tentang ancaman radikalisasi. Sebagian analis melihat peluang baru bagi negara dan raksasa teknologi untuk bertindak bersama-sama.
Pejabat-pejabat Australia awal pekan ini memberlakukan apa yang mereka sebut undang-undang pertama di dunia untuk mengekang ekstremisme online. Sementara pihak berwenang memerintahkan lima situs web untuk menghapus isi mengandung kekerasan atau menghadapi tuntutan. Situs-situs web yang melanggar itu semua berbasis di luar Australia, ujar komisi eSafety negara itu kepada harian Financial Times. Komisi itu bertanggung jawab menyelidiki dan menghapus konten seperti itu.
Di Selandia Baru, seseorang yang mengaku sebagai pendukung supremasi kulit putih Maret lalu menembaki dua masjid, menewaskan 51 orang, sambil menyiarkan langsung aksinya di Facebook. CEO Twitter Jack Dorsey bertemu Perdana Menteri Jacinda Ardern di Wellington pada hari Senin (9/11) untuk membahas apa yang bisa dilakukan perusahaannya untuk membantu menghapus konten kekerasan di platformnya.
Pertemuan itu adalah bagian dari upaya Ardern melalui Christchurch Call - janji 18 negara dan delapan perusahaan teknologi di Paris pada 15 Maret untuk berkolaborasi memberantas konten ekstremis dari internet.
Farah Pandith, mantan wakil khusus Amerika untuk komunitas Muslim, mengatakan, "Faktanya adalah perdana menteri Selandia Baru dan gerakan Australia di parlemen yang telah melangkah untuk melakukan sesuatu yang sedikit lebih tajam dan lebih jelas."[ka/ft]