Pernyataan resmi dari sejumlah pemerintah daerah dan sekolah-sekolah dalam situs-situs internet pekan lalu melarang anggota partai komunis, pegawai pemerintah, mahasiswa dan guru untuk berpuasa atau ikut dalam kegiatan keagamaan selama bulan Ramadan di Xinjiang.
Pemerintah China mengatakan larangan itu diberlakukan karena khawatir akan kesehatan masyarakat. Mereka juga mengatakan mereka hanya mendorong penduduk "agar makan dengan benar untuk bekerja dan belajar."
Xinjiang merupakan tempat tinggal banyak kelompok etnis yang berbeda, termasuk komunitas Muslim Uighur yang mencakup kira-kira 45 persen populasi di kawasan itu.
Ilham Tohti, seorang intelektual Uighur di Universitas Minzu di Beijing berpendapat peraturan itu sebagai tanda meningkatnya intoleransi beragama.
"Kecuali dari periode revolusi kebudayaan dulu, belum pernah terjadi pembatasan agama sekeras sekarang ini," katanya.
Hubungan yang tegang antara pemerintah dan penduduk Muslim lokal memuncak dalam kerusuhan tahun 2009, yang menewaskan kira-kira 200 orang. Pihak berwenang menafsirkan banyak ketidakpuasan di Xinjiang karena sentimen separatis, dan membenarkan pemantauan kegiatan beragama sebagai cara untuk menghindari ekstremisme agama dan terorisme.
Dilshat Raxit, juru bicara Kongres Uighur Dunia - sebuah organisasi advokasi bagi kelompok Uighur - memberitahu media dalam beberapa hari terakhir bahwa pemerintah Xinjiang telah membentuk "rencana kerja keamanan dan stabilitas" selama bulan Ramadan.
Raxit mengatakan rencana tersebut mengharuskan para pejabat memantau masjid, menggeledah rumah-rumah untuk mencari barang-barang keagamaan yang tidak diproduksi oleh negara dan melakukan "pertemuan-pertemuan ideologi" yang akan diselenggarakan di masjid bersama pejabat-pejabat Partai Komunis China.
Konstitusi China menjamin kebebasan beragama, dan sejak tahun 1984 pemerintah telah memberi berbagai hak kepada penduduk minoritas di daerah-daerah otonom yang ditentukan seperti Xinjiang, termasuk hak memerintah sendiri dalam berbagai tingkat, kebijakan pemberian prioritas kepada warga minoritas dan kendali yang lebih besar dalam pembangunan ekonomi di daerahnya. Tapi pelaksanaan peraturan itu sangat bervariasi di China.
Tohti mengatakan di Xinjiang peraturan itu sering tidak dipatuhi, dan pemerintah setempat menganggap keyakinan beragama sebagai "faktor ketidakharmonisan." Tohti yakin bahwa tujuan jangka panjang pemerintah pusat di Xinjiang adalah untuk mengikis kebudayaan kelompok minoritas.