Keputusan penundaan itu disampaikan Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Nusa Tenggara Timur Zet Sony Libing di Kupang, Senin (8/8). Dalam pernyataannya, Sony menyebut pihaknya akan melakukan dialog dan sosialisasi dengan seluruh pemangku kepentingan wisata Labuan Bajo. Pemerintah baru akan menerapkan tarif baru yang dinilai sangat tinggi itu secepatnya pada 1 Januari 2023.
Keputusan itu disambut baik berbagai pihak, termasuk Anggota Komisi 2 DPRD NTT, Yohanes Rumat.
“Tentu kita berterima kasih kepada pemerintah mereka mendengar apa yang menjadi jeritan masyarakat. Yang kedua, kalaupun pada waktunya pemerintah membuat pertimbangan kembali di 1 Januari 2023 maka pemerintah wajib menyiapkan infrastruktur peraturan,” kata Rumat, yang mewakili daerah pemilihan Manggarai Raya.
Infrastruktur peraturan yang dimaksud Rumat adalah dasar hukum pengelolaan kawasan wisata Labuan Bajo dan sekitarnya yang lebih partisipatif. Dalam konteks ini, Peraturan Daerah (Perda) lebih tepat, meski kemungkinan akan berhadapan dengan produk hukum lain yang lebih tinggi dari pusat.
Dasar Hukum dari Daerah
Perda pengelolaan kawasan wisata menjadi strategis karena penyusunannya, termasuk ketentuan tarif, dilakukan di daerah. Dalam prosesnya, seluruh pihak terkait akan didengar masukannya, khususnya pemilik kepentingan langsung yaitu masyarakat penggerak wisata kawasan Komodo.
“Kalaupun diberlakukan pada 1 Januari 2023, kalau tanpa didasari infrastruktur peraturan yang mengikat semua pihak, maka itu menimbulkan masalah baru lagi dan persoalannya tetap berjalan,” kata Rumat.
“Kalau ada ruang dimungkinkan dibuat Perda, sasaran utama itu pelaku wisata dan masyarakat, terutama di sekitar Taman Nasional Komodo. Saya yakin sekali, kalau Perda itu muncul akan menabrak semua peraturan yang sudah berlaku, yang dijabarkan oleh Balai Taman Nasional Komodo,” tambahnya.
Karena membutuhkan proses tidak sederhana, Rumat berharap pemerintah bisa memanfaatkan jeda waktu hingga Januari 2023 untuk dialog dan sosialisasi.
“Tinggi sekalipun tarifnya, kalau memang itu hasil kesepakatan, hasil sosialisasi, hasil keinginan bersama, saya kira tidak ada soal. Jangan ketentuan datang dari atas, lalu masyarakat di bawah jadi korban,” tegas wakil rakyat dari Partai Kebangkitan Bangsa ini.
Komodo, alam dan manusia yang hidup di kawasan tersebut, ditegaskan Rumat, berada pada posisi yang sama penting dalam proses wisata berkelanjutan ini.
Semua Duduk Bersama
Kepala Monitoring Center for Sustainable Tourism Observatory (MCSTO) Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat, Akhmad Saufi Ph.D, menegaskanpariwisata tidak mungkin lepas dari masyarakat di kawasan destinasi itu sendiri.
“Pariwisata ini industri silaturahmi. Industri yang tidak bisa berdiri sendiri. Industri yang tidak bisa berjalan tanpa dukungan masyarakat. Masyarakat adalah stakeholder yang wajib hukumnya, menerima atau mendukung pariwisata ini,” kata Akhmad ketika dihubungi VOA.
Menjadi persoalan ketika respons masyarakat justru negatif, misalnya dengan menggelar aksi demonstrasi di destinasi wisata. Karena itulah, apa yang beberapa waktu terakhir terjadi di kawasan wisata Labuan Bajo sebenarnya sangat merugikan.
Seluruh pihak didorong untuk duduk bersama, membicarakan masa depan pengelolaan kawasan wisata Labuan Bajo. Sebuah kabar negatif satu destinasi, akan langsung tersebar di kalangan wisatawan.
“Industri pariwisata itu sangat sensitif, seolah-olah memiliki masyarakat sendiri, memiliki kelompok sendiri. Wisatawan seolah memiliki jaringan di seluruh dunia yang saling menginformasikan,” lanjut Akhmad.
Terkait pengelolaan wisata Komodo ke depan, Akhmad meminta konsepnya diperjelas. Pemerintah saat ini sedang membangun sejumlah fasilitas tambahan di kawasan tersebut, Akhmad mendorong kejelasan tujuan upaya itu. Peningkatan fasilitas bisa dilakukan untuk meningkatkan kapasitas, ataupun sebaliknya membatasi kapasitas. Destinasi yang lebih mudah dan lebih murah dikunjungi, akan menarik minat wisatawan dari berbagai kelompok ekonomi. Sebaliknya, destinasi yang diperbaiki fasilitasnya untuk meningkatkan harga jual, menempatkan wisatawan dari pasar tertentu sebagai pasar. Dalam konsep ini, harga tentu akan naik tinggi.
“Ketika harga itu dinaikkan, seberapa pun tingginya sampai pada batasan tertentu, itu tidak masalah. Selama peruntukan pendapatan itu, pengelolaannya jelas untuk siapa. Misalnya untuk konservasi sekian, untuk kontribusi pada masyarakat sekian,” tambahnya.
Kenaikan harga, nampaknya diarahkan pemerintah untuk membidik kualitas, bukan kuantitas. Akhmad menilai, ke depan pengelola Labuan Bajo tidak lagi mementingkan jumlah wisatawan yang datang, tetapi lebih pada sisi pendapatan yang tinggi.
“Kalau ini bisa dikelola dengan baik, asal peruntukannya tadi jelas, maka tempat itu akan lebih bisa berkelanjutan. Karena destinasi ini tidak akan lagi berhadapan dengan masalah sampah, polusi yang buruk, interaksi wisatawan dengan Komodo juga bisa dikelola lebih baik,” kata Akhmad lagi.
Karena itulah dibutuhkan diskusi lebih dalam. Pemerintah harus bisa menjawab pertanyaan, untuk siapa pendapatan tinggi dari wisata premium itu. Selain itu, wisatawan yang tidak bisa membayar tiket tinggi, harus tetap bisa diakomodir untuk menikmati Komodo di lokasi berbeda. Sangat penting juga, bukan hanya Komodo yang lestari, tetapi juga masyarakat setempat diprioritaskan, termasuk dari sisi ekonomi. Pengertian keberlanjutan suatu destinasi wisata, juga menyangkut masyarakat di sekitar lokasi itu, kata Akhmad.
“Komodo ini berkait dengan keberlanjutan lingkungan, ada flora-fauna. Juga keberlanjutan ekonomi dan sosial budaya masyarakat. Bagaimana kelanjutan pekerjaannya, pendapatannya. Kemudian sosial budaya, misalnya kerajinan, tarian, suvernir dan sebagainya. Ini bagian yang harus disalurkan, bagaimana dikelola,” tandasnya.
Perlu Pemberdayaan Masyarakat
Masyarakat seharusnya menjadi subyek di tengah upaya menata kembali destinasi wisata Labuan Bajo, termasuk Pulau Komodo dan kawasan sekitarnya. Penekanan itu disampaikan Direktur Yayasan Komodo Indonesia Lestari (Yakines) Labuan Bajo, Gabriela Uran ketika dihubungi VOA.
“Untuk kawasan Taman Nasional Komodo itu, supaya masyarakat sejahtera, alam juga tetap dijaga dengan baik, perlu ada pemberdayaan masyarakat yang berada di pulau-pulau di kawasan sekitar itu. Supaya konsep wisata yang berbasis rakyat itu betul-betul jalan, tidak hanya dinikmati oleh para pengusaha atau investor saja, tetapi orang lokal juga harus berdaya,” paparnya.
Pemberdayaan, lanjut Gabriela, adalah upaya terus menerus, dan tidak boleh didasarkan pada proyek. Konsep proyek adalah bahwa setelah selesai program, maka akan selesai pula pemberdayaan. Jika konsep itu diterapkan, tujuan pemberdayaan tidak akan pernah tercapai.
Pemberdayaan juga bermakna, masyarakat dilibatkan dalam perencanaan.
“Masyarakat harus didengar, sejak mulai dari kajiannya. Apa kata masyarakat, harapan-harapan mereka, gagasan-gagasan mereka, potensi lokal yang mereka miliki. Setelah itu, dalam proses pelaksanaan, mereka juga terlibat, dan juga dalam monitoring dari setiap kegiatan itu,” kata Gabriela.
Jika masyarakat terlibat aktif, mereka akan berdaya dan mampu mengambil manfaat dari proses itu. Otomatis, mereka akan sejahtera dari pengelolaan wisata.
“Jika masyarakat lokal sejahtera, dia bisa menjaga alam dengan baik. Sementara orang luar, bisa memanfaatkan itu untuk menikmati sebagai wisata,” urai Gabriela.
Konsep ini seperti lingkaran yang saling berhubung, antara potensi wisata, pengelolaan, kesejahteraan, dan kemauan menjaga kelestarian alam. Jika masyarakat sejahtera melalui pariwisata yang berkelanjutan, mereka otomatis akan ikut melestarikan alam.
Gabriela menekankan, kelompok perempuan di kawasan tersebut harus mendapat perhatian khusus.
“Dari pengalaman kerja kami tentang konservasi alam, perempuan itu seringkali tidak terlalu dilibatkan. Paling di hal-hal kecil seperti ekonomi kreatif, menyiapkan bahan-bahan untuk dijual segala macam. Tapi, dasar-dasar konservasi mereka seharusnya juga tahu,” kata Gabriela. [ns/ah]
Forum