Setelah diminta Presiden Jokowi, Kementerian Kesehatan langsung melakukan evaluasi harga tes PCR. Harga baru ini diharapkan membuat masyarakat lebih mudah melakukan tes, dan pada gilirannya berperan menekan angka kasus.
Biaya pemeriksaan tes polimerase rantai ganda (PCR) sebelumnya ditetapkan tertinggi Rp900 ribu. Setelah pemberitaan mengenai biaya tes serupa yang jauh lebih murah di berbagai negara lain, khususnya India, muncul desakan harga di tanah air diturunkan.
Pada Senin (16/8) petang, Kemenkes akhirnya memenuhi desakan itu, melalui penetapan harga resmi yang diumumkan secara daring oleh Pelaksana Tugas (PLT) Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes, Abdul Kadir.
“Dari hasil evaluasi, kami sepakati bahwa batas tarif tertinggi pemeriksaan real time PCR diturunkan menjadi Rp495 ribu untuk daerah pulau Jawa dan Bali. Serta sebesar Rp525 ribu untuk daerah di luar pulau Jawa dan Bali. Untuk itu kami mohon agar semua fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit, laboratorium dan fasilitas pemeriksaan lainnya yang telah ditetapkan oleh menteri, dapat mematuhi batas tarif tertinggi real time PCR tersebut,” kata Abdul Kadir.
Biaya tes PCR yang lama telah ditetapkan pemerintah sejak 5 Oktober 2020. Menurut Abdul Kadir, harga bisa diturunkan saat ini, karena harga komponen tes yang juga telah turun. Evaluasi harga ini juga melibatkan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Komponen yang dievaluasi terdiri dari komponen jasa pelayanan yaitu jasa Sumber Daya Manusia (SDM), komponen reagen dan bahan habis pakai, komponen biaya administrasi, overhead dan komponen biaya lainnya. Seluruh komponen biaya itu telah disesuaikan dengan kondisi saat ini.
Selain menurunkan biaya tes PCR, Kemenkes juga menetapkan hasil pemeriksaan PCR dikeluarkan dengan durasi maksimal 1 x 24 jam dari pengambilan usap atau swab. Dinas Kesehatan di daerah harus melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pemberlakuan keputusan ini.
“Evaluasi batas tertinggi pemeriksaan PCR ini akan ditinjau ulang secara berkala sesuai dengan kebutuhan,” tambah Abdul Kadir.
Pejabat BPKP, Iwan Taufik Purwanto mengatakan lembaganya melakukan evaluasi batasan tarif tertinggi pemeriksaan PCR, berdasarkan permohonan dari Kementerian Kesehatan.
“Kami melakukan evaluasi berdasarkan kondisi yang kami peroleh dari hasil audit BPKP selama ini terkait dengan pelaksanaan tes PCR yang dilakukan baik di BNPB maupun di Kementerian Kesehatan dalam rangka penanganan COVID-19, kemudian dari e-katalog maupun dari informasi lainnya yang kami peroleh dalam rangka melaksanakan evaluasi tersebut,” ujar Iwan.
Protes masyarakat terkait harga PCR di Indonesia telah muncul sejak pekan lalu. Berita-berita di media terkait hal itu menjadi salah satu pemicunya.
Dari paparan Iwan, diketahui bahwa Dirjen Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan kemudian mengirim surat ke BPKP pada 13 Agustus 2021. BPKP kemudian mengirim hasil perhitungan mereka kepada Kementerian Kesehatan, melalui surat pada 14 Agustus 2021. Presiden Jokowi sendiri pada Minggu (15/8) menyatakan telah meminta agar harga yang ditetapkan Kemenkes ada pada kisaran Rp 450 ribu hingga Rp 550 ribu.
Abdul Kadir juga merinci, penurunan biaya sekitar 45 persen muncul karena adanya penurunan harga-harga komponen seperti reagen dan bahan habis pakai. Pada periode awal pandemi, ujarnya, harga reagen masih tinggi, sebagaimana harga barang medis lain seperti masker, baju APD, atau sarung tangan. Abdul Kadir bahkan menyatakan, jika harga komponen terus turun, evaluasi harga akan dilakukan kembali.
Terkait waktu pemeriksaan sampel yang lama, Abdul Kadir mengaitkan hal ini dengan alat yang dipakai. Sejumlah alat mensyaratkan jumlah sampel dalam sekali pemeriksaan, sehingga laboratorium harus menunggu sampai jumlah itu terpenuhi sebelum mengoperasikan alatnya. Selain itu, untuk daerah tertentu proses pengiriman sampel juga membutuhkan waktu.
Dengan biaya yang baru, industri layanan tes di Indonesia memiliki margin keuntungan sekitar 15 hingga 20 persen saat ini. Abdul Kadir juga menambahkan, perbedaan biaya tes PCR antara Jawa-Bali dan wilayah lain terletak pada komponen biaya transportasi.
Epidemiolog dari Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, Budi Laksono meyakini pemerintah pasti sudah mengetahui harga asli setiap komponen tes PCR. Dengan demikian, pemerintah bisa meminta operator penyedia jasa tes untuk mengurangi biaya. Bahkan, jika seluruh proses ini dilakukan oleh pemerintah, Budi bahkan mengatakan seharusnya biayanya bisa gratis.
“Sebenarnya bila yang melakukan semua proses pemeriksaan itu Aparatur Sipil Negara (ASN) dan alatnya adalah milik negara, seharusnya bahkan bisa gratis,” tandas Budi. [ns/ab]