Kepastian pengajuan kasasi Herry Wirawan disampaikan kuasa hukumnya pada Selasa (26/4). Sebelumnya, Herry Wirawan divonis hukuman mati dan membayar restitusi Rp331 juta dalam sidang banding di Pengadilan Tinggi Bandung, Februari lalu.
Menanggapi hal itu, kuasa hukum para korban, Yudi Kurnia, menghormati langkah tersebut. Namun para korban berharap vonis hukuman mati tidak berubah.
“Kalau lihat unsur-unsur terpenuhi semua. Keluarga korban optimis. Mudah-mudahan hakim Mahkamah Agung punya empati terhadap korban dan keluarga korban,” ujarnya saat dihubungi VOA.
Yudi, yang mewakili 11 keluarga korban di Garut dan Tasikmalaya, mengatakan keluarga sudah lega dengan vonis hukuman mati. Sementara jika dapat hukuman seumur hidup, terpidana masih berpeluang mendapat keringanan.
“Yang keluarga khawatirkan itu kan, kalau dapat hukuman seumur hidup bisa saja dapat grasi dari presiden. Nanti dia keluar, mencari lagi anak-anak itu. Karena anak-anak yang dilahirkan itu, mau tidak mau masih darah dagingnya pelaku. Kekhawatiran ke depannya dia cari anak-anak itu,” jelasnya.
LPSK Harap Restitusi Tetap Dikabulkan
Sementara itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berharap Mahkamah Agung tetap mengabulkan restitusi. Wakil Ketua LPSK, Livia Iskandar, mengatakan kepada VOA bahwa restitusi penting bagi para korban untuk dapat melanjutkan kehidupannya.
“Kita ingin restitusinya dikabulkan oleh MA. Hak korban atas ganti rugi itu dapat dibayarkan dan dieksekusi, sehingga korban bisa menata hidup mereka menggunakan ganti rugi tersebut. Untuk kembali sekolah misalnya, atau untuk membesarkan bayinya,” ujar Livia ketika dihubungi terpisah.
Livia menjabarkan, lembaganya mengajukan restitusi dengan total nilai Rp 331 juta. Angka itu untuk diberikan kepada 12 dari total 13 korban. Satu korban menyatakan mengundurkan diri.
Tenaga ahli LPSK, Abdanev Jopa, mengatakan bahwa nilai restitusi itu dihimpun dari sejumlah komponen, antara lain biaya logistik selama mengikuti persidangan, penghasilan yang hilang, biaya pemulihan medis dan psikologis, serta nilai penderitaan.
“Komponen penderitaan ini kami kembalikan ke masing-masing korban. Jadi ada yang mengajukan nilai 50 juta, ada yang 20 juta. Penderitaan itu ada dua: Pertama, rasa trauma, anak-anak ini lebih murung lebih cepat marah; kedua, hilangnya keperawanan,” paparnya.
Abdanev memastikan, LPSK telah menerima surat kesanggupan pembayaran restitusi dari terpidana Herry Wirawan, per 24 Februari.
Namun demikian, Livia mengatakan dana restitusi saja tidaklah cukup. Mengingat para korban putus sekolah, dan berasal dari kelompok ekonomi lemah, perlu intervensi khusus supaya mereka bisa keluar dari jerat kemiskinan.
Karena itu, Livia mendesak pemerintah daerah untuk menjamin para korban bisa menuntaskan bangku sekolah.
“Baiknya memang selanjutnya dari Pemprov Jabar bisa melakukan terobosan untuk memasitkan korban tindak kekerasan seksual itu tetap menjalani hidup yang produktif dan bermakna,” harapnya.
Dalam wawancara VOA dengan LPSK sebelumnya, diketahui para santriwati ini bahkan dipekerjakan Herry Wirawan sebagai kuli bangunan untuk membangun pondok pesantren lain. Sebagian anak korban perkosaannya juga dieksploitasi untuk meminta bantuan pada sejumlah pihak. Dana Program Indonesia Pintar (PIP) untuk korban juga diambil pelaku, termasuk dana BOS yang penggunaannya tidak jelas.
Dalam kasus ini, LPSK ini memberi perlindungan pada 29 orang, 13 di antaranya saksi/korban yang merupakan anak-anak. [rt/em]