Tautan-tautan Akses

Pemilu Legislatif Hong Kong: Jumlah Pemilih Terendah Sejak 1997


Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam (kiri) bertemu Presiden China Xi Jinping di Beijing, Rabu 22 Desember 2021.
Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam (kiri) bertemu Presiden China Xi Jinping di Beijing, Rabu 22 Desember 2021.

Tingkat partisipasi pemilih yang rendah dalam pemilihan legislatif Hong Kong hari Minggu (19/12) dan memecahkan rekor menjadi “pukulan telak” bagi kelangsungan demokrasi di kota itu, demikian pandangan seorang pakar pada VOA hari Rabu (22/12) yang senada dengan beberapa orang lain yang dihubungi terkait pemilu itu.

Tingkat pemungutan suara dalam pemilihan “khusus patriot” Dewan Legislatif bekas koloni Inggris itu hanya mencapai 30,2% atau yang terendah sejak penyerahan wilayah itu ke China tahun 1997. Angka itu sangat kontras dengan tingkat pemilihan sebelumnya tahun 2016 yang mencapai 60% dan rekor tertinggi dalam pemilihan dewan distrik tahun 2019 yang mencapai 71%.

Hanya sekitar 30 persen dari pemilih memberikan suara pada pemilu legislatif Hong Kong Minggu (19/12) lalu.
Hanya sekitar 30 persen dari pemilih memberikan suara pada pemilu legislatif Hong Kong Minggu (19/12) lalu.

Dari 90 anggota parlemen yang baru terpilih itu, hanya satu yang berasal dari konstituen fungsional – atau yang mewakili segmen masyarakat seperti pariwisata dan keuangan – yang independen dan tidak secara eksplisit pro-kemapanan.

Menurut Jacques deLisle, pakar ilmu politik di Center for the Study of Contemporary China di University of Pennsylvania, tingkat partisipasi dan hasil itu menunjukkan bahwa pemilihan legislatif tidak lagi demokratis. “Pemilihan itu tidak lagi demokratis dan hasilnya sudah diketahui sebelumnya secara universal. Berdasarkan reformasi yang diadopsi tahun lalu, kandidat pro-demokrasi telah secara sistematis disingkirkan,” ujar deLisle pada VOA melalui email.

Ini adalah pemilu pertama sejak penerapan undang-undang keamanan nasional yang kejam Juni 2020 lalu, dan perombakan pemilu pada Maret 2021 yang memangkas jumlah anggota yang dipilih secara langsung – dari 35 kursi menjadi hanya 20 kursi – dan menempatkan 40 kursi langsung ke tangan 1.500 anggota Komite Pemilu yang sebagian besar terdiri dari anggota pro-China.

DeLisle menyebut perombakan itu sebagai langkah “menyeluruh dan multifaktor” untuk memberangus suara-suara pro-demokrasi. “Distrik beranggota tunggal diganti oleh distrik dua anggota, sebuah langkah yang menguntungkan kandidat pro-China yang sering menempati urutan kedua setelah kandidat pro-demokrasi di daerah-daerah pemilihan beranggota tunggal,” ujarnya.

Ditambahkannya, “jumlah kursi yang dipilih oleh Komite Pemilihan – sebuah badan pro-China yang andal – tumbuh dari nol menjadi 40 kursi. Jumlah yang disebut sebagai kursi konstituen fungsional... terutama yang mewakili berbagai kelompok ekonomi dan sosial, turun dari 35 kursi menjadi 20 kursi, dan menghilangkah beberapa konstituen pro-demokrasi yang andal.”

Carrie Lam: Pemilih Hong Kong Bebas Berikan Suara

Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengatakan tingkat partisipasi yang rendah ini tidak berarti pemilu ini tidak penting. “Pemerintah tidak menetapkan target tingkat partisipasi dalam pemilu apapun, dan pemilih bebas untuk memberikan suara mereka. Saya percaya pemilih memiliki banyak pertimbangan, termasuk suasana, kualitas kandidat, situasi sosial dan cuaca,” ujar Lam dalam konferensi pers setelah pemilu itu.

Tingkat partisipasi yang rendah ini terjadi di tengah seruan sejumlah tokoh terkemuka untuk memboikot pemilu atau memberikan suara kosong, yang berdasarkan aturan pemilu yang baru dinilai ilegal.

Sehari sebelum pemilu para pejabat mengeluarkan surat perintah penangkapan para politisi itu, termasuk mantan anggota parlemen Ted Hui yang diasingkan, tokoh pro-demokrasi terkemuka Nathan Law, dan tiga tokoh lainnya. [em/jm]

Recommended

XS
SM
MD
LG