Jumlah pemilih yang memberikan suara dalam pemilu parlemen Tunisia pada Sabtu (17/12) tampaknya sangat rendah setelah pemilu yang dijadwalkan itu diboikot sebagian besar partai politik.
Pemilu itu dikritik sebagai puncak upaya Presiden Kais Saied untuk menjadi pemimpin yang tidak dibatasi oleh konstitusi, hukum atau lawan politik lain (one-man rule).
Pemilu parlemen ini berlangsung 12 tahun setelah seorang penjual sayur mayur Mohamed Bouazizi membakar dirinya dalam aksi protes yang memicu Arab Spring. Pemilu ini hanya memiliki sedikit pengaruh.
Komisi Pemilu mengatakan hingga pukul 15.00, baru sekitar 7,2% pemilih yang memenuhi syarat yang memberikan suara mereka. Sebagai perbandingan, saat referendum Juli lalu, pada sekitar pukul 15.30, baru ada sekitar 13,6% pemilih yang telah memberikan suara. Ketika tempat-tempat pemungutan suara (TPS) ditutup tingkat partisipasi pemilih hanya mencapai 30%.
Pemungutan suara pada Sabtu dijadwalkan ditutup pukul 18.00. Sebagian TPS diperkenankan ditutup lebih malam karena lokasinya berada di daerah-daerah terpencil, atau karena pemungutan suara terlambat dimulai.
Parlemen Tunisia sebelumnya hanya dipilih oleh sekitar 40% pemilih. Parlemen itu dibubarkan Saied tahun lalu ketika ia memerintah lewat dekrit, langkah yang oleh musuhnya disebut sebagai kudeta.
Jumlah pemilih yang sangat rendah untuk membentuk parlemen yang tidak memiliki pengaruh besar dan tampaknya didominasi oleh kelompok independen, tanpa agenda terpadu, memberi amunisi kepada para pengecam Saied untuk mempertanyakan legitimasi perubahan politiknya.
Hal itu mungkin menjadi tantangan bagi presiden ketika pihak berwenang bergulat dengan kebutuhan untuk mewujudkan reformasi ekonomi yang tidak populer, seperti pemangkasan subsidi untuk mengamankan dana talangan internasional bagi keuangan negara.
Reuters mengunjungi enam TPS di sekitar Ibu Kota Tunis, yang semuanya sepi. Dalam periode dua jam, di antara distrik Ettadamon dan Ettahir, hanya ada 20 pemilih yang memberikan suara mereka.
Sebaliknya di daerah Omrane Tunis, kafe-kafe dipadati warga yang menonton pertandingan perebutan tempat ketiga Piala Dunia, antara Maroko dan Kroasia.
“Apakah saya kehilangan akal dan memilih meninggalkan kesenangan nonton sepak bola untuk memilih anggota parlemen yang tidak memiliki kekuatan?” ujar Yosri Jouini, yang menggambarkan parlemen baru kelak sebagai hiasan belaka, dan menyebut kebijakan perubahan politik sebagai penipuan.
Lebih banyak wartawan dibanding pemilih yang berada di TPS-TPS di Rue de Marseille di Tunis, yang dalam pemilu-pemilu sebelumnya biasanya dipadati pemilih.
Meskipun demikian tetap ada pemilih yang optimis, seperti Faouzi Ayarai, yang memberikan suara di TPS Rue de Marseille dan mengatakan “pemilu ini adalah kesempatan untuk memperbaiki situasi yang buruk, yang ditinggalkan oleh orang-orang di tahun-tahun sebelumnya.” [em/ft]
Forum