Keputusan pemerintah yang akan tetap menggelar pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) pada Desember 2020 disayangkan sejumlah akademisi. Mereka menganggap pemerintah sudah tidak lagi menjadikan ilmu pengetahuan, penelitian dan kajian para akademisi sebagai pertimbangan dalam mengambil sebuah kebijakan. Menurut Dosen Hukum Tata Negara dan HAM, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang Perdana Wiratraman, kebijakan yang diputuskan pemerintah lebih didasarkan pada kepentingan ekonomi dan politik.
Dalam sebuah webinar bertajuk Pemilukada Serentak 2020 di tengah Pandemi Covid-19, Aman, Tertib, Demokratis, dan Sehatkah?, Senin (5/10) sore, Herlambang Perdana Wiratraman mengatakan, pelaksanaan Pemilukada mestinya memperhitungkan risiko kematian, dan tidak sekedar membangun demokrasi konstitusional.
Terus meningkatanya jumlah kematian dan jumlah positif corona di Indonesia, kata Herlambang, harus menjadi pengingat pemerintah mengenai potensi besar risiko hilangnya nyawa manusia pasca Pemilukada. Herlambang mendesak pemerintah mempertimbangkan menunda pelaksanaan Pemilukada pada Desember 2020, dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai komitmen politik yang berpihak pada keselamatan rakyat.
“Perppu itu bisa dilakukan dalam tempo cepat dengan mempertimbangkan masukan-masukan yang multi-disiplin. Saya kira sangat mungkin dilakukan, menunda misalnya dalam kurun waktu sampai fase penurunan angka kematian atau penularan Covid-19, atau pada fase dimana pemerintah bisa mengendalikan pandemi Covid-19,” kata Herlambang Perdana Wiratraman.
Pertimbangan menunda Pemilukada juga diungkapkan Wakil Dekan 1 Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Santi Martini. Ia mengingatkan kesiapan rumah sakit dan sarana kesehatan dalam menangani pasien corona, yang akan bertambah lagi bila nantinya muncul klaster baru Pemilukada. Pelaksanaan Pemilukada yang mengharuskan pemilih datang langsung ke lokasi pemungutan suara, sangat berisiko, khusnya bagi orang yang memiliki gangguan kesehatan berat.
“Pelaksanaan Pilkada ini juga harus kita lihat lagi, bisa tidak rumah sakit mengatasi ini, menerima misalnya nanti kasus-kasusnya ada yang bertambah karena timbulnya klaster pilkada, kemudian di situ ada kelompok risiko tinggi yang berdasarkan riset itu, dia kalau terinfeksi, risikonya untuk menjadi parah itu lebih tinggi,” ujar Santi Martini.
Meski tidak secara tegas menyatakan menolak atau menyetujui pelaksanaan Pemilukada, Direktur RSUD Dr. Soetomo Surabaya, dan Ketua Gugus Kuratif Satgas Percepatan Penanggulangan Covid-19 Provinsi Jawa Timur, Joni Wahyuhadi, mengingatkan harus ada penerapan protokol kesehatan yang ketat dan tegas bila Pemilukada jadi dilaksanakan. Namun, Joni menyangsikan kedisiplinan masyarakat dalam menjaga jarak dan memakai masker untuk mencegah penularan virus corona.
“Memakai masker mungkin tidak terlalu susah, walau pun itu susah, tapi masih bisa memakai masker. Tetapi social distancing, karena kita ini makhluk sosial, sesuatu yang sangat susah. Apalagi nanti di Pilkada ini, social distancing saya melihat sesuatu yang sangat susah dikerjakan. Padahal kalau kita tidak melakukan social distancing, walau pun pakai masker, kedua-duanya pakai masker antara orang yang membawa kuman maupun orang yang tidak membawa kuman, itu kansnya masih 5 persen tertular, jadi masih tinggi, sama-sama pakai masker saja, apalagi kalau tidak pakai masker,” tutur Joni Wahyuhadi.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Timur, Arbayanto, mengatakan, melanjutkan tahapan pilkada bukan berarti tidak mengindahkan hak kesehatan, karena aktivitas publik selain pemilu juga tetap berjalan di masa Pandemi. Arbayanto menegaskan pentingnya upaya pencegahan yang dilakukan melalui protokol kesehatan Covid-19, termasuk antisipasi kemungkinan klaster baru penularan dari gelaran Pemilukada. KPU, menurut Arbayanto, telah menyiapkan sejumlah regulasi atau peraturan KPU, untuk memastikan hak kesehatan pemilih dan penyelenggara pemilu tetap terjaga.
“Di setiap TPS itu nanti kita menyediakan masker, sarung tangan dan seterusnya sejumlah pemilih, dalam rangka untuk memastikan pemilih itu betul-betul steril ketika masuk ke TPS. Perlindungan kesehatan ini tidak hanya sekedar ditujukan untuk melindungi hak kesehatan pemilih saja, tetapi juga peserta termasuk juga penyelenggara, dalam hal ini komisioner KPU RI, Bawaslu RI, sampai ke tingkat jajaran yang paling bawah, badan ad-hock kami, PPK, PPS, dan KPPS di TPS,” ungkap Arbayanto.
Herlambang menambahkan, pemerintah perlu mendengar suara dan aspirasi warga yang meminta Pemilukada ditunda sehingga pemerintah dapat memfokuskan perhatiannya pada penanganan warga yang terinfeksi virus corona.
“Kalau memang ini didengar oleh pengambil kebijakan yang punya kapasitas di Jakarta, sungguh-sungguhlah bicara tentang penyelamatan nyawa warga yang kita semua patut khawatir dengan kondisi ini. Tanpa memperkuat kapasitas negara dalam upaya penyelamatan itu, maka kita sebenarnya terlibat dalam proses kejahatan terhadap kemanusiaan,” tandas Herlambang. [pr/ab]