Laki-laki yang memimpin kudeta pada 2008 di Guinea di mana masa pemerintahan singkatnya ditandai dengan pembantaian terhadap demonstran dalam aksi damai di stadion di negara tersebut, pada Rabu (22/12) kembali ke negara Afrika Barat itu setelah berada di pengasingan selama satu dekade terakhir.
Setelah kedatangannya di ibu kota negara Guinea, Conakry, Moussa "Dadis" Camara mengatakan kepada para pendukungnya bahwa ia percaya pada sistem peradilan negara tersebut dan "siap sepenuhnya untuk mengatakan kebenarannya" mengenai pembunuhan di stadion yang terjadi pada 2009, di mana setidaknya 157 orang dilaporkan tewas dalam tragedi itu.
"Saya mempercayai sistem peradilan dan saya menempatkan diri saya pada tempatnya," katanya, dan mengatakan bahwa "tidak ada seorang pun (yang berada) di atas hukum."
Camara adalah salah satu dari puluhan lebih tersangka yang didakwa sehubungan dengan peristiwa pembantaian itu, ketika pasukan keamanan Guinea menembaki demonstran damai yang memprotes niat Camara untuk mencalonkan diri sebagai presiden.
Namun, tanggal persidangan terhadap Camara belum ditetapkan hingga saat ini. Pada awal tahun ini, kelompok pembela hak asasi manusia mengutip kurangnya niat untuk merampungkan persiapan pengadilan dan mengatakan keluarga korban telah menunggu cukup lama.
"Dadis adalah pemain kunci dalam pembantaian ini," kata Alseny Sow, anggota organisasi dari kerabat korban pembataian. Ia menambahkan mereka mengharapkan keadilan.
Selama bertahun-tahun pemerintah Guinea telah berusaha untuk mencegah kepulangannya, khawatir hal itu dapat memicu ketidakstabilan politik. Namun, kudeta lainnya di Guinea yang terjadi pada awal tahun ini yang menyebabkan junta militer berkuasa, memungkinkan kembalinya Camara ke negara tersebut. [my/jm]