Pemimpin tertinggi Iran, Rabu (28/7), menyebut AS "keras kepala" terkait macetnya pembicaraan nuklir di Wina karena membahas rudal dan pengaruh regional Teheran. Ini mungkin menjadi pertanda lebih banyak masalah menjelang perundingan mendatang.
Pernyataan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei disampaikan ketika pengikut garis kerasnya, Presiden terpilih Ebrahim Raisi, siap dilantik minggu depan sebagai pemimpin pemerintahan sipil negara itu.
Meskipun Raisi mengatakan ingin kembali ke kesepakatan nuklir rapuh itu, yang menginginkan Iran membatasi pengayaan uraniumnya sebagai imbalan pencabutan sanksi ekonomi, Khamenei dalam pidatonya tampaknya menyerukan pendekatan yang lebih bermusuhan.
Pemimpin tertinggi itu juga tampaknya menggambarkan pemerintahan delapan tahun Presiden Hassan Rouhani naif untuk pendekatannya dalam mencapai kesepakatan 2015 – meskipun Rouhani dan kabinetnya duduk di hadapan Khamenei dalam pertemuan perpisahan akhir jabatannya.
"Yang lain harus menggunakan pengalaman Anda. Pengalaman ini adalah ketidakpercayaan terhadap Barat," kata Khamenei dalam pidato yang disiarkan oleh televisi pemerintah.
"Dalam pemerintahan ini, terlihat bahwa kepercayaan pada Barat tidak berhasil."
Di Washington, Departemen Luar Negeri mengatakan AS "tulus dan teguh menempuh jalur diplomasi yang berarti" dalam negosiasi kesepakatan nuklir, tetapi menyalahkan Iran atas kebuntuan di Wina.
"Kita telah menjelaskan kesiapan untuk kembali ke Wina untuk melanjutkan perundingan. Namun tidak demikian halnya dengan Iran," kata pernyataan AS.
"Tidak ada perubahan sikap yang bisa mengaburkan itu. Kita mendesak Iran untuk segera kembali ke perundingan sehingga kita bisa berupaya menyelesaikan kesepakatan ini."
Pernyataan itu menambahkan: "Kesempatan itu tidak akan ada selamanya."
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Prancis Agnes Von Der Muhll juga mengatakan kepada wartawan Senin (26/7) pihaknya "mendesak Iran agar kembali ke meja perundingan." [my/ft]