Seorang pendeta sekaligus pengkhotbah kulit hitam berhasil merebut hati seorang anggota kelompok supremasi kulit putih Ku Klux Klan di sebuah kota kecil di kawasan pedesaan di South Carolina. Sang pendeta kemudian mendapat izin untuk mengelola bangunan yang pada mulanya merupakan toko khusus untuk kalangan rasis serta museum Ku Klux Klan. Perjuangan sang pendeta melawan rasisme ini sampai-sampai diangkat ke layar lebar.
Beberapa tahun silam, di Laurens, sebuah kota kecil di kawasan pedesaan di dataran rendah negara bagian South Carolina, berdirilah The Redneck Shop, sebuah toko dari dan untuk kalangan rasis.
Selain itu, di sana juga terdapat museum Ku Klux Klan yang berlokasi di sebuah bioskop tua. Di tempat tersebut, orang-orang dari kelompok neo-Nazi yang mendukung supremasi kulit putih memberi salam hormat ‘heil Hitler’ serta memajang lambang-lambang swastika dan bendera kaum pemberontak pada masa perang saudara di Amerika.
Tetapi gedung tersebut, yang pernah menjadi milik kelompok Klan, kini menjadi milik seorang pengkhotbah kulit hitam dan penentang keras rasisme, yang berencana mengubahnya menjadi bangunan tempat rekonsiliasi.
Bagaimana Pendeta David Kennedy mengambil alih kepemilikan bangunan bioskop tua Echo Theater dari seorang anggota Ku Klux Klan yang pernah berencana membunuh Kennedy, kini menjadi subjek film. Film tersebut nantinya diharapkan dapat menjadi sumber penggalangan dana bagi pengubahan fungsi bangunan tersebut.
Ku Klux Klan (KKK) datang ke kota kecil ini dan membangun satu-satunya museum KKK di dunia yang juga dikenal sebagai Redneck Shop, jelas Kennedy.
Satu dekade silam, toko milik pendukung supremasi kulit putih The Redneck Shop menjadi tempat di mana satu dari sedikit saja kaos tanpa penghinaan rasial yang dijual di sana berbunyi, “If I had known this was going to happen, I’d picked my own cotton.” Terjemahannya kurang lebih, “Kalau saja saya tahu ini akan terjadi, saya akan memetik sendiri kapasnya.” Asal Anda tahu saja, kalimat ini mengacu pada ladang-ladang kapas yang biasanya diurus dan dirawat oleh para budak.
Toko Redneck itu menjual semua barang kebutuhan KKK, termasuk jubah khas mereka, jelas Kennedy.
Sementara itu, Museum Ku Klux Klan yang terkenal di dunia sebagai tempat pertemuan para rasis, terletak di bagian belakang bioskop tua itu.
Kennedy menjelaskan suasana permusuhan terhadap warga kulit hitam masih dapat terasakan jika kita memasuki museum tersebut.
Ku Klux Klan, atau KKK, menyerahkan title (tanda kepemilikan) bangunan tersebut atas nama seorang anggota terpercayanya, Michael Burden. Burden mengatakan, sejumlah anggota lain KKK pernah mengusulkan agar ia membunuh Kennedy, pendeta dari New Beginning Missionary Baptist Church. Burden mengaku ia pernah mempertimbangkan untuk mewujudkan usul tersebut.
Kennedy sendiri tidak tahu hal tersebut sewaktu ia bertemu Michael Burden yang ketika itu dalam keadaan lapar, miskin, dan penuh kebencian. Kennedy membawa Burden ke sebuah restoran prasmanan agar makan sekenyang-kenyangnya. Setelah itu, Kennedy membawanya ke sebuah hotel agar Burden sekeluarga tidak perlu hidup menggelandang dan tidur di jalan.
Pendeta David Kennedy menegaskan bahwa rasisme dan kebencian, keduanya sama-sama menghancurkan dan tak memiliki masa depan. Tetapi kasih, pengampunan dan kemurahan hati selalu memiliki tempat untuk masa depan.
Kekasih Burden ketika itu terus mendesaknya agar ia meninggalkan KKK. Pada tahun 1997, Burden benar-benar meninggalkan kelompok rasis tersebut. Ia juga menyerahkan hak kepemilikan gedung bioskop tua itu kepada Kennedy dengan imbalan AS$10 saja. Namun ada syaratnya.
Berdasarkan kesepakatan, John Howard, sang pemilik The Redneck Shop, akan diizinkan tetap berbisnis di tempat itu seumur hidupnya.
Howard menelantarkan toko itu bertahun-tahun silam, mengabaikan perawatan maupun perbaikan saluran-saluran dan pipa-pipa yang lepas dari dinding.
Pada tahun 2017, Howard meninggal dunia dan membuat Kennedy memiliki kontrol sepenuhnya atas bangunan tersebut.
Kennedy memperkirakan biaya perbaikan sedikitnya mencapai AS$500 ribu dolar. Upaya perbaikan harus dilakukan secara hati-hati mengingat usia bangunan tersebut serta lokasinya yang bersejarah.
Ini tampaknya mustahil bagi pendeta yang jemaat gerejanya sedikit saja. Kennedy dan jemaatnya biasanya berkumpul di bekas toko senjata api yang diubah menjadi gereja, beberapa mil di sebelah barat Laurens.
Tetapi sebuah film mengenai kisah perjuangan Kennedy melawan KKK mungkin menghadirkan penutup yang membahagiakan, seperti pada kisah-kisah Hollywood.
Persahabatan yang tampaknya tidak mungkin terjalin antara Kennedy dan Burden diangkat menjadi film berjudul Burden, yang dirilis di Amerika pada 28 Februari ini.
101 Studios, yang memproduksi Burden, menjanjikan kepada Kennedy bahwa mereka akan membantu upaya perbaikan dan membuka kembali gedung bioskop di sana untuk menjadikannya sebagai sebuah museum mengenai rekonsiliasi dan keberagaman, serta apa yang disebut Kennedy sebagai “sebuah bangunan cinta.” [uh/ab]