Peneliti di Amerika membuat alat pemindai murah yang mampu dengan cepat dan akurat mendiagnosis cedera otak. Penemuan itu, yang menggunakan gelombang radio nirkabel, dipicu oleh keinginan mereka untuk membantu orang yang hidup di negara-negara berkembang.
Profesor teknik biomedis pada University of California Berkeley, Boris Rubinsky, mengatakan pemindai medis berteknologi tinggi, seperti sinar-X tiga dimensi atau CT scan dan magnetic resonance imaging, biasa disingkat MRI, tidak tersedia bagi banyak orang yang hidup di negara berkembang.
"Jika beberapa perangkat canggih bisa sampai ke negara-negara yang kurang beruntung secara ekonomi, orang tidak tahu cara menggunakannya. Bahkan, jika sekering putus, alat-alat itu tidak bisa digunakan lagi,” ujarnya.
Itu sebabnya Rubinsky memusatkan perhatian pada pembuatan alat biomedis yang murah dan mudah digunakan. Temuan terbarunya adalah pemindai portabel kecil yang nirkabel karena menggunakan gelombang radio elektromagnetik untuk mendiagnosis cedera otak pada mereka yang menderita trauma kepala.
Kerusakan otak tidak selalu segera tampak setelah cedera kepala. Tetapi pemindai temuan Rubinsky mendeteksi sifat biologis jaringan di dalam tengkorak, seperti keberadaan air karena pembengkakan otak atau penggumpalan darah dibawah tengkorak yang disebut hematoma subdural.
Alat seperti helm itu memiliki dua kumparan, satu melingkari kepala dan lainnya diletakkan di atas kepala. Satu kumparan mentransmisi gelombang frekuensi radio yang sangat lemah, serupa frekuensi yang dipancarkan radio atau televisi. Kumparan lain menerima sinyal. Program dalam komputer menganalisis data untuk menentukan apakah ada cedera otak, dan jika ada, seperti apa.
Dalam otak sehat, menurut Rubinsky, gelombang radio lewat melalui tengkorak tanpa gangguan. Tetapi kalau ada cedera, alat itu menghasilkan sinyal berbeda atau “suara” tidak terdengar yang menunjukkan adanya masalah.
Rubinsky dan koleganya di rumah sakit Meksiko melakukan penelitian percontohan yang sangat kecil yang melibatkan 46 orang dewasa yang sehat, berusia antara 18 dan 48 tahun, serta 8 pasien yang diketahui mengalami trauma otak. Peneliti membandingkan temuan alat itu dengan hasil CT scan biasa.
Tidak hanya helm itu secara akurat membedakan antara pasien yang sehat dan mereka yang cedera otak, tetapi kata Rubinsky dalam wawancara melalui Skype, pemindai portabel itu juga mengidentifikasi mana pasien yang mengalami pembengkakan otak dan mana yang mengalami hematoma.
Baru-baru ini, peneliti University of California San Francisco melakukan ujicoba klinis alat itu. Rubinsky memperkirakan harga pemindai itu pada akhirnya hanya US$100 atau $200, sehingga negara terpencil sekalipun bisa membeli, selayaknya termometer atau alat pengukur tekanan darah.
Rubinsky mengungkapkan badan antariksa Amerika, NASA, tertarik untuk membuat alat pemindai otak itu pada helm yang dikenakan antariksawan.
Artikel tentang pemindai otak portabel nirkabel ini diterbitkan dalam jurnal PLoS One.
Profesor teknik biomedis pada University of California Berkeley, Boris Rubinsky, mengatakan pemindai medis berteknologi tinggi, seperti sinar-X tiga dimensi atau CT scan dan magnetic resonance imaging, biasa disingkat MRI, tidak tersedia bagi banyak orang yang hidup di negara berkembang.
"Jika beberapa perangkat canggih bisa sampai ke negara-negara yang kurang beruntung secara ekonomi, orang tidak tahu cara menggunakannya. Bahkan, jika sekering putus, alat-alat itu tidak bisa digunakan lagi,” ujarnya.
Itu sebabnya Rubinsky memusatkan perhatian pada pembuatan alat biomedis yang murah dan mudah digunakan. Temuan terbarunya adalah pemindai portabel kecil yang nirkabel karena menggunakan gelombang radio elektromagnetik untuk mendiagnosis cedera otak pada mereka yang menderita trauma kepala.
Kerusakan otak tidak selalu segera tampak setelah cedera kepala. Tetapi pemindai temuan Rubinsky mendeteksi sifat biologis jaringan di dalam tengkorak, seperti keberadaan air karena pembengkakan otak atau penggumpalan darah dibawah tengkorak yang disebut hematoma subdural.
Alat seperti helm itu memiliki dua kumparan, satu melingkari kepala dan lainnya diletakkan di atas kepala. Satu kumparan mentransmisi gelombang frekuensi radio yang sangat lemah, serupa frekuensi yang dipancarkan radio atau televisi. Kumparan lain menerima sinyal. Program dalam komputer menganalisis data untuk menentukan apakah ada cedera otak, dan jika ada, seperti apa.
Dalam otak sehat, menurut Rubinsky, gelombang radio lewat melalui tengkorak tanpa gangguan. Tetapi kalau ada cedera, alat itu menghasilkan sinyal berbeda atau “suara” tidak terdengar yang menunjukkan adanya masalah.
Rubinsky dan koleganya di rumah sakit Meksiko melakukan penelitian percontohan yang sangat kecil yang melibatkan 46 orang dewasa yang sehat, berusia antara 18 dan 48 tahun, serta 8 pasien yang diketahui mengalami trauma otak. Peneliti membandingkan temuan alat itu dengan hasil CT scan biasa.
Tidak hanya helm itu secara akurat membedakan antara pasien yang sehat dan mereka yang cedera otak, tetapi kata Rubinsky dalam wawancara melalui Skype, pemindai portabel itu juga mengidentifikasi mana pasien yang mengalami pembengkakan otak dan mana yang mengalami hematoma.
Baru-baru ini, peneliti University of California San Francisco melakukan ujicoba klinis alat itu. Rubinsky memperkirakan harga pemindai itu pada akhirnya hanya US$100 atau $200, sehingga negara terpencil sekalipun bisa membeli, selayaknya termometer atau alat pengukur tekanan darah.
Rubinsky mengungkapkan badan antariksa Amerika, NASA, tertarik untuk membuat alat pemindai otak itu pada helm yang dikenakan antariksawan.
Artikel tentang pemindai otak portabel nirkabel ini diterbitkan dalam jurnal PLoS One.