Tautan-tautan Akses

Peneliti Serukan Hentikan Pembangunan Proyek di Hutan Batang Toru


Dua individu orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis). (Courtesy: YEL-SOCP)
Dua individu orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis). (Courtesy: YEL-SOCP)

Kawasan hutan Batang Toru di Sumatera Utara (Sumut) terdiri dari hutan lindung, hutan primer, perkebunan rakyat, persawahan, dan pertambangan. Ada beberapa investasi besar yang telah masuk ke kawasan itu, mulai dari proyek tambang hingga proyek PLTA.

Hadirnya proyek-proyek itu rupanya menghadirkan sejumlah ancaman bagi keanekaragaman hayati termasuk satwa paling langka di dunia yaitu orangutan Tapanuli.

Peneliti dan ahli orangutan dari Universitas Liverpool John Moores, Inggris, Serge Wich, mengatakan kehadiran proyek-proyek tersebut bisa menyebabkan orangutan Tapanuli kehilangan konektivitas dengan kelompoknya yang terbagi di blok barat, timur, dan Sibual-buali (bagian selatan hutan Batang Toru).

Para narasumber diskusi daring "Mendorong Penguatan Perlindungan Ekosistem Hutan Batang Toru", Rabu 8 Juli 2020. (Tangkapan layar: Anugrah Andriansyah)
Para narasumber diskusi daring "Mendorong Penguatan Perlindungan Ekosistem Hutan Batang Toru", Rabu 8 Juli 2020. (Tangkapan layar: Anugrah Andriansyah)

Dalam sebuah diskusi daring bertema "Mendorong Penguatan Perlindungan Ekosistem Hutan Batang Toru", Wich mengatakan, karena kehilangan konektivitas dengan kelompoknya, orangutan Tapanuli) bakal lebih cepat mengalami kepunahan. Untuk mencegah hal tersebut, katanya, dibutuhkan strategi mitigasi, termasuk menghentikan pembangunan proyek PLTA Batang Toru.

"Karena itu di daerah kritis untuk konektivitas orangutan Tapanuli. Kenapa ambil risiko dengan masa depan orangutan Tapanuli untuk proyek ini," kata Serge, Rabu (8/7).

Untuk melindungi orangutan Tapanuli, menurut Wich, evaluasi dampak proyek-proyek itu dan kerja sama dengan komunitas lokal perlu dilakukan.

"Hentikan deforestasi. Ganti status daerah area penggunaan lain (APL) ke hutan lindung serta memperbaiki konektivitas untuk orangutan melewati sungai Batang Toru dan jalan lintas tengah Sumatera," ujar Serge.

Serge mengungkapkan, orangutan Tapanuli sangat rentan terhadap gangguan. Karena populasinya yang kecil dan terfragmentasi perkembangbiakan orangutan Tapanuli bisa melambat. Padahal orangutan Tapanuli sangat bergantung pada habitat hutan. "Berarti kalau ada gangguan kepadatan orangutan akan menurun," ungkapnya.

Satu anak orangutan Tapanuli. (Courtesy: YEL-SOCP)
Satu anak orangutan Tapanuli. (Courtesy: YEL-SOCP)

Orangutan Tapanuli baru dideskripsikan sebagai jenis tersendiri pada 2017 berdasarkan perbedaan genetik, morfologi, dan ekologi. Orangutan Tapanuli hanya hidup di ekosistem Batang Toru dengan jumlah tidak lebih dari 800 individu. Saat ini populasi orangutan Tapanuli terbagi dalam tiga blok hutan yaitu timur, barat, dan Sibual-buali.

Ada beberapa ancaman yang bisa membuat orangutan Tapanuli punah, termasuk konflik dengan manusia dan pemburu dan deforestasi. Kalau tidak ada aksi konservasi di blok barat, orangutan Tapanuli bisa punah dalam kurun waktu 310 tahun. Kelompok orangutan Tapanuli di blok timur bisa punah lebih cepat.

Ahli biodiversitas Universitas Sumatera Utara (USU), Onrizal menuturkan bahwa sedikitnya ada 91 jenis mamalia termasuk orangutan Tapanuli yang hidup di dalam ekosistem Batang Toru. Kehadiran flora dan fauna di ekosistem Batang Toru sangat bergantung dengan kondisi hutannya.

"Bisa dibayangkan jika hutan rusak, bagaimana dampaknya kepada satwa-satwa liar termasuk mamalia besar," tuturnya.

Kehadiran sejumlah proyek di ekosistem hutan Batang Toru ternyata bukan hanya mengancam keanekaragaman hayati di kawasan tersebut. Ahli geofisika dari Institut Teknologi Bandung, Prof Teuku A Sanny bahkan menjelaskan bahwa area pertambangan dan PLTA yang dibangun di kawasan hutan Batang Toru merupakan wilayah rawan gempa karena berada di zona patahan Sumatera.

Air terjun Aek Bulu Poltak di dalam ekosistem Batang Toru, Sumatra Utara, 12 Maret 2019. (Anugrah Andriansyah)
Air terjun Aek Bulu Poltak di dalam ekosistem Batang Toru, Sumatra Utara, 12 Maret 2019. (Anugrah Andriansyah)

Sementara itu, Direktur Eksekutif WALHI Nasional, Nur Hidayati mengatakan, PLTA yang dibangun di kawasan tersebut berdampak pada habitat orangutan dan masyarakat di wilayah hilir dari sungai Batang Toru.

"Itu proyek yang akan atau sudah mengakibatkan berbagai perubahan bentang alam dan kerusakan serta keluhan yang diderita masyarakat," katanya.

Untuk menyelamatkan ekosistem hutan Batang Toru, menurut Nur, perlu langkah-langkah sistematis dan komprehensif.

"Perlu audit lingkungan hidup yang menyeluruh terhadap seluruh proyek yang memberikan dampak terhadap ekosistem Batang Toru" ujar Nur.

Peneliti Serukan Hentikan Pembangunan Proyek di Hutan Batang Toru
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:52 0:00

"Adanya pelibatan komunitas masyarakat adat di sana secara bermakna. Mereka itu tidak boleh hanya sekadar disosialisasikan. Masyarakat adat selama ini bisa hidup berdampingan dengan orangutan justru proyek-proyek ini yang akan memberikan dampak menghilangkan habitat satwa-satwa langka," pungkas Nur.

Ekosistem Batang Toru atau, dalam bahasa Batak, harangan Tapanuli, mencakup luasan lebih dari 133 ribu hektar, yang terbagi menjadi dua blok yang dipisahkan oleh patahan Sumatera. Secara administratif ekosistem Batang Toru terletak di tiga kabupaten di Sumut yaitu Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan.

Di dalam hutan tersebut juga mengalir sungai Batang Toru yang memiliki arti penting bagi masyarakat. Hutan Batang Toru juga menjadi kawasan penyangga banjir dan erosi. [aa/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG