Kajian ini mengungkap bahwa 10 kasus kematian petugas di DIY semua terkait dengan masalah jantung. Riris Andono Ahmad, peneliti dari Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat (FKKM) UGM menyatakan, kesimpulan ini berdasarkan riwayat penyakit, tanda, dan gejala kronologi sebelum petugas meninggal.
“Satu kasus itu (kesimpulannya) ditarik dari tanda dan gejala yang diamati oleh keluarga sebelum terjadinya kematian. Jadi yang tadi menyatakan tidak pernah sakit tapi berdasarkan tanda dan gejala yang dilaporkan, maka dugaannya juga mengarah pada sebab kardiovaskular,” jelasnya saat konferensi pers di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (25/6/2019) siang.
Studi ini menemukan, 80 persen petugas meninggal dilaporkan punya riwayat penyakit kardiovaskular, dan 90 persen punya riwayat merokok. Para petugas juga ada yang memiliki riwayat diabetes serta hipertensi. Kajian ini tidak menemukan adanya indikasi kekerasan atau penyebab kematian tidak wajar.
Beban Kerja di TPS Mencapai 20 Jam
Penelitian ini mengungkap beban kerja yang dihadapi para petugas. Peneliti mengecek sampel 400 TPS yang diambil dari 11.781 TPS di 5 kabupaten/kota di DIY. Hasilnya, rata-rata durasi kerja di TPS mencapai 20 jam saat hari Pemilu. Padahal, kata Riris, tubuh manusia perlu beristirahat.
“Mereka ini orang-orang yang biasa dan bahkan secara aktivitas tidak fit. Tetapi harus dipaksa secara marathon untuk bekerja sepanjang minggu. Jadi ada proses yang menyebabkan endurance tubuhnya itu terlampaui. Itu yang menjadi penyebab fisiknya,” jelasnya.
Para peneliti juga memeriksa 74 petugas KPPS yang jatuh sakit. Para petugas ini mengalami berbagai gangguan kesehatan selama 6 bulan terakhir seperti lelah berkepanjangan (20%) pusing berkepanjangan (12%), nyeri pinggang belakang (10%), sesak nafas (5%), dan lain-lain. Sebanyak 29 persen petugas yang sakit memiliki 1-3 riwayat penyakit mematikan.
Para petugas juga dilaporkan mengalami tekanan psikologis, ujar peneliti Faturochman dari Fakultas Psikologi UGM. Tekanan ini dilihat dari kelelahan, kecemasan, keterlibatan kerja, reaksi stres, dan tuntutan kerja.
“Mereka sudah tuntutannya tinggi, terlibat kerja tinggi. Kelelahan juga--yang tinggi dan sedang--itu lebih dari 70 persen. Kalau kecemasan yang tinggi dan sedang itu hanya sepertiga. Sedangkan reaksi fisiknya sekitar 40 persen yang mengalami stres fisik.
Lebih dari 80 persen petugas yang sakit juga punya pekerjaan sehari-hari, baik penuh waktu atau pun paruh waktu. Akibatnya, ujar Faturochman, petugas ini tidak punya waktu istirahat.
“Setelah beban kerja ini, 80 persen itu kembali kerja. Jadi tidak ada istirahat. Kan biasanya kalau kita habis lembur ada waktu istirahat lebih panjang, Ini enggak,” tambahnya dalam kesempatan yang sama.
Kajian lintas-disiplin ini dilakukan 16 peneliti dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat, serta Fakultas Psikologi.
Tim Dorong Perbaikan Manajemen Resiko dan Penugasan
Tim Kajian Lintas-Disiplin ini telah menyerahkan hasil dan rekomendasi kepada KPU, Selasa (25/6/2019). Dalam audiensi itu, tim mendorong KPU memperbaiki manajemen risiko di lapangan.
“Kalau ada yang sakit, tidak ada mekanisme yang jelas mau dibawa ke mana, mau ditangani seperti apa. Sehingga itu turut berkontribusi terhadap sakit dan meninggalnya petugas,” ujar Ketua Tim Kajian ini, Abdul Gaffar Karim dari FISIP UGM.
Gaffar juga mendorong perbaikan pola seleksi dan penugasan petugas di lapangan.
“Termasuk yang tadi dibahas adalah memanfaatkan mekanisme KKN dan magang di universitas-universitas untuk membantu KPU dalam ketersediaan petugas di lapangan,” tambahnya.
Dia mengatakan, hal itu bisa diterapkan ketika Pemilu serentak 2020, dimulai di DIY.
Secara nasional, data KPU per 4 Mei 2019 mencatat petugas yang meninggal ada 440 orang dan sakit 3.788 orang. Sebanyak 12 kasus kematian ada di DI Yogyakarta. Namun dua kasus tidak masuk kajian UGM. Karena satu kasus adalah bunuh diri dan satu kasus lain keluarga menolak diwawancara. [rt/em]