Rindri Rendusara, warga Indonesia yang tinggal di Kota Katy, di negara bagian Texas, sekitar empat jam berkendara dari Kota Uvalde, mengaku "speechless" alias tidak bisa berkata-kata, saat mendengar tentang insiden penembakan massal yang kembali terjadi di Amerika Serikat (AS).
Selama 19 tahun bermukim di AS, tak pernah terpikir oleh Rindri bahwa insiden penembakan massal seperti ini bisa terjadi di negara bagian tempat tinggalnya.
Seperti halnya yang dilakukan oleh beberapa orang tua korban, di hari kejadian itu, Ibu dari tiga anak ini sempat menghadiri acara di sekolah anak bungsunya, Sabrina, yang berusia 11 tahun dan duduk di bangku kelas 5 SD.
“Saya merasa sedih, I put myself in their shoes (menempatkan pada posisi mereka. red). Nggak bisa bayangin deh. Ini sesuatu yang seharusnya nggak terjadi, tapi kelihatannya makin sering dan sering (terjadi),” ujar Rindri Rendusara kepada VOA belum lama ini.
Kesedihan yang sama ikut dirasakan oleh Melissa Anggiarti yang tinggal di negara bagian Michigan, AS. Ia merasa berat untuk melepas putrinya yang baru berusia tiga tahun pergi ke sekolah keesokan harinya.
“Bangun tidur dilema, antara menyekolahkan anak atau meliburkan dia, tetapi anaknya sangat bersemangat sekali untuk pergi sekolah karena dia tahu hari itu bukan hari libur dan dia harus pergi ke sekolah,” cerita Melissa Anggiarti.
Tidak hanya rasa cemas, Qiki Piasasty yang tinggal di Vienna, Virginia juga mengaku takut saat harus melepaskan kedua putranya yang berusia 8 dan 13 tahun ke sekolah. Hatinya pilu setiap kali memikirkan kepedihan para orang tua korban.
“Rasanya berlinang air mata dan saya tidak bisa menempatkan diri di posisi mereka, karena sangat sulit. Satu hari Anda bisa melihat anak Anda pergi ke sekolah, di hari lain mereka tidak akan pernah kembali. Saya tidak bisa membayangkannya,” ujar Qiki sambil terbata-bata.
Namun, Qiki menyadari bahwa anak-anak tidak hanya membutuhkan pendidikan, tapi juga interaksi sosial dengan guru dan teman-temannya.
“Kita banyak berdoa aja, semoga selalu selamat,” ujarnya.
Ingin ‘Aksi Nyata’ Bagi Keamanan Anak
Berbagai distrik sekolah di seluruh AS tidak tinggal diam untuk meredakan kecemasan para orang tua murid. Salah satu divisi sekolah terbesar di AS, Fairfax County Public Schools (FCPS) yang menangani 198 sekolah dan pusat pendidikan mengirimkan surat edaran yang mengatakan telah “mengutuk tindakan kekerasan yang tidak masuk akal ini.”
Lewat surat edaran itu, kepala lembaga, Scott Brabrand juga menyebutkan akan terus berusaha untuk meningkatkan keselamatan gedung-gedung sekolah dengan biaya tahunan yang tersedia. Ia juga mengatakan bahwa FCPS memiliki salah satu sistem keamanan sekolah yang paling maju di seluruh negeri.
Lembaga yang memiliki murid lebih dari 180 ribu siswa ini juga menekankan bahwa keselamatan sekolah-sekolah mereka, beserta para murid dan karyawan merupakan prioritas.
Kedua anak Qiki Piasasty bersekolah di bawah naungan FCPS. Qiki mengatakan, tidak hanya FCPS, namun sekolah-sekolah anaknya secara langsung juga “selalu mengkomunikasikan apa yang mereka lakukan terhadap (kemananan) di sekolah.” Mulai dari pelatihan untuk menghadapi tornado, hingga pelatihan jika ada serangan yang terjadi di sekolah. Namun, sebagai orang tua, Qiki lebih berharap untuk adanya aksi “yang lebih nyata” untuk anak-anak.
“Tapi saya harus bersyukur dengan adanya komunikasi ini, paling nggak saya tahu apa yang mereka persiapkan apabila terjadi penembakan atau serangan terhadap sekolah,” jelasnya.
Menurut Melissa Anggiarti, sungguh ironis mengingat para siswa di AS kerap diberikan pelatihan untuk menghadapi penembakan massal.
“Itu berarti mereka mengetahui bahwa mereka setiap hari berada di kondisi tidak aman. Untuk orang dewasa saja itu hal yang unbearable (tak tertahankan. red), apalagi untuk anak kecil? Saya nggak bisa bayangin,” ujarnya.
Distrik sekolah negeri di Kota Uvalde juga memiliki peraturan tersendiri terkait dengan keamanan sekolah. Salah satu peraturan yang tercantum berkaitan dengan kebijakan mengunci pintu kelas. Namun, aturan tersebut tidak menyebutkan pintu utama atau pintu-pintu lainnya di sekolah. Pasalnya, pelaku penembakan yang baru berusia 18 tahun itu berhasil masuk ke dalam gedung sekolah dasar Robb melalui pintu yang tidak terkunci.
“Yang saya lakukan adalah saya mengantar (anak) dan saya make sure (memastikan.red) ke sekolah bahwa mereka mengunci pintu dengan sangat proper (benar. red) dan saya rasa ini menjadi concern (perhatian. red) setiap parents (orang tua. red) di sini,” kata Melissa.
Mengenai sistem keamanan sekolah, Rindri Rendusara merasa bahwa sekolah anaknya “sudah menerapkan prosedur keamanan (yang cukup baik).” Walau mengaku “deg-degan,” inilah yang meyakinkan Rindri untuk kembali menyekolahkan putrinya, satu hari setelah insiden penembakan massal ini.
“Jadi mereka itu ada visitor access (akses pengunjung. red) dan tracking system (sistem pelacakan.red) yang baik kalau masuk ke gedung sekolah, dengan satu pintu, pintu utama. Kemudian kita harus memberikan kartu identitas,” ujarnya.
Namun, Rindri juga tidak lupa untuk mengingatkan putrinya agar selalu melapor jika melihat ada hal-hal yang mencurigakan. Untungnya, pihak sekolah memiliki aplikasi bernama Speak Up yang memudahkan anggota komunitas, termasuk siswa, orang tua, dan anggota komunitas untuk memberikan laporan berupa foto atau video, tanpa perlu mengungkap nama.
“Jadi sebenarnya sekolah sudah melakukan preventive (pencegahan. red) Jadi saya ingin anak saya itu merasa aman juga. Tapi di lain pihak saya waswas juga,” tambahnya.
Pihak Sekolah Ajak Siswa Diskusi
Qiki Piasasty mengaku kedua putranya, khususnya yang sulung menyadari situasi terkait insiden penembakan massal yang kerap terjadi di AS. Menurutnya, pihak sekolah juga selalu melakukan diskusi dan menanyakan pendapat para siswanya mengenai kebijakan pemerintah seputar hal ini.
Diskusi dan pembahasan mengenai insiden penembakan juga berlangsung di sekolah Dimas Nugroho, siswa SMA kelas 12 di Templeton Academy, Washington, D.C.
“Beberapa guru mendorong kami untuk ikut serta dalam sebuah diskusi dan (membicarakan) tentang apa yang kami rasakan, pendapat kami, juga apa yang menurut kami harus dilakukan,” ujar Dimas Nugroho.
Dimas menambahkan, di sekolahnya yang sekarang, ia belum pernah melakukan pelatihan untuk menghadapi serangan. Namun, ia ingat sewaktu SMP pernah mendapat pelatihan menghadapi serangan pasca penembakan massal di SMA Stoneman Douglas di Parkland, Florida yang menewaskan 17 orang.
“(Waktu itu) kami mendapat pelatihan di mana kami harus mematikan seluruh lampu, berdiam dan duduk di pojokan, tidak bersuara sampai (situasinya aman),” kata Dimas.
Rindri Rendusara sempat membahas tentang insiden penembakan massal ini dengan putrinya, sambil mengatakan bahwa “hal ini bisa terjadi kapan saja dan di mana saja.”
“Saya tanya tentang kejadian ini. Bagaimana perasaannya? Dia bilang, dia merasa sedih, karena semua korbannya adalah seumuran dengan dia,” ujarnya.
Harapan Agar ‘Amerika Berbenah’
Pasca insiden penembakan di Texas, Melissa Anggiarti berharap agar “Amerika berbenah,” khususnya dalam hal kepemilikan senjata api.
“Kalau nggak bisa dijadikan ilegal, senjata api, ya diperketat persyaratan untuk kepemilikan senjata apinya. Jangan berlomba-lomba untuk memudahkan akses kepemilikan tersebut,” ujar Melissa.
Rindri Rendusara juga berharap agar pemerintah akan melakukan sesuatu, termasuk memperketat pemeriksaan latar belakang pembeli senjata dan adanya pembatasan umur. Seperti diketahui, penembak di sekolah Robb di Texas kemarin baru saja berulang tahun ke-18 pada 16 Mei lalu. Biro Alkohol, Tembakau, Senjata Api dan Bahan Peledak di AS menyebut bahwa tersangka lalu membeli senjata api pada 17 Mei dan 20 Mei.
“Dari kejadian yang kemarin ini, anak usia 18 tahun bisa membeli senjata. Menurut saya, umur 18 tahun itu belum saatnya,” kata Rindri.
Amandemen ke-2 konstitusi Amerika Serikat memang memungkinkan dan melindungi hak individu untuk memiliki senjata. Namun, Qiki Piasasti berharap pemerintah AS bisa mengeluarkan persyaratan yang lebih ketat, sehingga “anak yang baru berubah menjadi 18 tahun tidak bisa langsung dapat senjata dan membatasi penjualan assault rifle (senapan serbu.red).”
Sebagai siswa kelas 12, Dimas menyadari bahwa dirinya telah melalui dan melihat berbagai insiden penembakan massal dalam hidupnya.
“Saya hanya melihat, bahkan saya melihat adanya pemberontakan. Sebagai generasi muda yang masih terus tumbuh, menurut saya kami bisa mempelajari (yang terjadi di dunia) sejak dini, (sehingga) kami bisa lebih banyak bertindak.”
Hingga artikel ini dirilis, pihak berwenang masih terus menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi saat tersangka penembak Texas berada di dalam SD Robb selama 40 menit. Keluarga korban penembakan massal ini pun menyesalkan respons polisi yang lamban dan menginginkan adanya tindakan nyata.
Insiden penembakan Texas ini merupakan salah satu dari serangkaian penembakan massal lainnya di AS yang mencatat 61 insiden "penembak aktif" sepanjang tahun lalu. Laporan Biro Penyelidik Federal AS (The Federal Bureau of Investigation/FBI) pekan ini mengatakan, jumlah insiden, korban, dan lokasi penembakan meningkat tajam pada 2021 dan merncapai angka tertinggi sepanjang 20 tahun terakhir. [di/dw/ft]