Tautan-tautan Akses

Pengadilan: Larangan Pemerintah Jepang Atas Pernikahan Sesama Jenis Inkonstitusional


Sebuah pengadilan Jepang, Rabu (17/3), memutuskan bahwa larangan pemerintah atas pernikahan sesama jenis tidak konstitusional. (Foto: Ilustrasi/REUTERS/Phil Noble)
Sebuah pengadilan Jepang, Rabu (17/3), memutuskan bahwa larangan pemerintah atas pernikahan sesama jenis tidak konstitusional. (Foto: Ilustrasi/REUTERS/Phil Noble)

Sebuah pengadilan Jepang, Rabu (17/3), memutuskan bahwa larangan pemerintah atas pernikahan sesama jenis tidak konstitusional. Keputusan tersebut dapat diartikan bahwa hak-hak pasangan sesama jenis untuk pertama kalinya diakui di satu-satunya negara anggota Kelompok Tujuh (G7) yang tidak mengakui kemitraan hukum mereka.

Meskipun pengadilan menolak permintaan penggugat untuk mendapat kompensasi pemerintah, preseden tersebut merupakan kemenangan besar bagi pasangan sesama jenis dan dapat mempengaruhi gugatan-gugatan hukum serupa yang tertunda di berbagai penjuru negara itu.

Pengadilan Distrik Sapporo mengatakan seksualitas, seperti ras dan jenis kelamin, bukanlah masalah preferensi individu, oleh karena itu melarang pasangan sesama jenis untuk menerima manfaat seperti yang diberikan kepada pasangan heteroseksual tidak dapat dibenarkan.

Manfaat hukum dari pernikahan harus sama-sama menguntungkan baik homoseksual maupun heteroseksual, kata pengadilan itu, menurut salinan ringkasan keputusan.

Hiroko Masuhara (Kiri) dan pasangannya Koyuki Higashi, memegang sertifikat kemitraan sesama jenis pertama di Tokyo, Jepang, 5 November 2015. (Foto: REUTERS/Yuya Shino)
Hiroko Masuhara (Kiri) dan pasangannya Koyuki Higashi, memegang sertifikat kemitraan sesama jenis pertama di Tokyo, Jepang, 5 November 2015. (Foto: REUTERS/Yuya Shino)

Hakim Tomoko Takebe mengatakan dalam keputusannya bahwa tidak mengizinkan pernikahan sesama jenis melanggar Pasal 14 Konstitusi Jepang yang melarang diskriminasi ras, kepercayaan, jenis kelamin, status sosial atau asal keluarga.

Berdasarkan hukum Jepang, pernikahan harus didasarkan pada “persetujuan bersama dari kedua jenis kelamin'' yang saat ini diartikan bahwa perkawinan hanya diperbolehkan antara lelaki dan perempuan.

Keputusan pengadilan tersebut tidak berarti akan ada perubahan langsung pada kebijakan pemerintah, tetapi dapat mempengaruhi keputusan gugatan-gugatan hukum lainnya yang tertunda dan mendorong pemerintah untuk mengubah undang-undang tersebut.

Sementara kesadaran dan dukungan untuk orang-orang LGBTQ meningkat di Jepang, diskriminasi tetap ada. Pasangan sesama jenis tidak dapat mewarisi rumah, properti, dan aset pasangannya, atau memiliki hak pengasuhan atas anak manapun. Lebih banyak kota kini memberlakukan peraturan “kemitraan'' sehingga pasangan sesama jenis dapat lebih mudah menyewa apartemen, tetapi mereka tidak terikat secara hukum.

Dalam masyarakat di mana tekanan untuk menyesuaikan diri sangat kuat, banyak kaum gay menyembunyikan seksualitas mereka, karena takut prasangka buruk di rumah, sekolah atau tempat kerja. Orang-orang transgender juga mengalami kesulitan dalam masyarakat yang identitas gendernya sangat spesifik.

Gerakan untuk persamaan hak-hak LGBTQ di Jepang tertinggal karena anggota komunitas itu sebagian besar telah terpinggirkan.

Meskipun Jepang adalah satu-satunya negara G7 yang masih menolak melegalkan pernikahan sesama jenis, penolakan seperti itu bukanlah hal yang aneh di Asia. Taiwan adalah satu-satunya tempat di Asia yang melegalkan pernikahan sesama jenis, dengan ribuan pasangan menikah sejak undang-undang tersebut disahkan pada Mei 2019.

Partai Demokrat Liberal yang berkuasa di Jepang memegang teguh pandangan ultrakonservatif mengenai keluarga dan kebijakan-kebijakannya telah menghambat kemajuan perempuan dan penerimaan keragaman seksual. Para anggota parlemen dari partai yang berkuasa telah berulang kali dikritik karena membuat pernyataan diskriminatif terhadap kelompok-kelompok minoritas seksual. [ab/uh]

Recommended

XS
SM
MD
LG