Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengurangi masa tahanan pimpinan Jama’ah Ansharut Tauhid (JAT), Abu Bakar Ba’asyir sebanyak enam tahun. Dengan demikian, vonis Ba’asyir yang semula 15 tahun akan menjadi sembilan tahun. Keputusan para hakim ini disampaikan kepada media, Rabu sore.
Juru Bicara Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Achmad Sobari, kepada VOA menjelaskan ada perbedaan pertimbangan pasal-pasal dakwaan, yang digunakan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Hakim Pengadilan Tinggi.
“Dari proses pertama Ba’asyir dan penasihat hukumnya memang tidak puas, makanya mereka mengajukan banding. Dan ternyata keputusan Pengadilan Tinggi nampaknya berbeda dengan pendapat Pengadilan Negeri,” ungkap Achmad Sobari.
Sobari menambahkan, salinan keputusan belum dikirimkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Jika sudah dikirimkan, maka Pengadilan Negeri yang akan meneruskan salinan putusan tersebut kepada Jaksa Penuntut Umum dan penasihat hukum Abu Bakar Ba’asyir.
Ia juga mengatakan bahwa keputusan yang dikeluarkan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta ini sifatnya belum final. Pelaksanaan pengurangan hukuman tidak seketika dapat dilakukan.
“Ini keputusan sementara, belum memiliki kekuatan hukum tetap. Kalau Kejaksaannya terima, tidak mengajukan kasasi barulah itu sifatnya in-kraacht atau mempunyai hukum mengikat, dan diterapkan pengurangan hukuman sembilan tahun. Kalau tidak, harus sampai ke Mahkamah Agung (kasasi),” ujar Sobari.
Pada 16 Juni 2011, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis 15 tahun penjara kepada Abu Bakar Ba’asyir. Jaksa Penuntut Umum bahkan menuntut Ba’asyir seumur hidup. Ia dinyatakan terbukti merencanakan dan menggalang dana untuk pembiayaan pelatihan militer di Nangroe Aceh Darussalam.
Hakim menilai hal yang memberatkan vonis Ba'asyir adalah bahwa ia tidak mendukung upaya pemerintah memberantas terorisme, di samping pernah menjalani hukuman untuk kasus serupa.
Sementara salah satu kuasa hukum Abu Bakar Ba’asyir, Mohammad Assegaf, menilai sejak awal tuduhan terhadap Ba’asyir sudah banyak keganjilan. Apalagi, Ba’asyir sudah dua kali dikenakan dakwaan melanggar pasal UU Terorisme, tapi belakangan dibebaskan.
“Dulu Abu Bakar Ba’asyir sudah diadili dua kali, kedua-duanya dengan UU Terorisme. Pertama sekitar enam tahun lalu, Abu Bakar Ba'syir dituduh terlibat dalam pengeboman pada malam Natal. Dia ditangkap, ditahan dan diadili, akhirnya dinyatakan tidak bersalah. Ketika ia mau keluar dari penjara karena masalah KTP, begitu menghirup udara bebas langsung ditangkap dan ditahan dengan tuduhan terlibat dalam bom Bali,” tutur Mohammad Assegaf.
Assegaf yakin perkara terakhir yang menimpa Ba’syir ini juga bagian dari rekayasa, berdasarkan pengalaman dari dua perkara sebelumnya. “Setelah perkara itu diproses dari tingkat pertama sampai kasasi, Abu Bakar Ba’asyir dinyatakan tidak bersalah lagi. Dengan mengambil dua perkara yang sebelumnya dinyatakan ‘not guilty” (tidak bersalah), maka untuk perkara yang inipun kami yakin rekayasa,” tambah Assegaf.
Assegaf mengaku belum menerima pemberitahuan secara resmi dari Pengadilan Tinggi DKI. Keputusan Pengadilan Tinggi DKI tersebut ia ketahui lewat media massa.