Pengadilan Jakarta Pusat menolak gugatan yang diajukan para pemimpin komunitas Aceh yang menginginkan salah satu hutan tropis yang paling berharga di negara ini dilindungi dari eksploitasi oleh perusahaan-perusahaan pertambangan dan perkebunan.
Nurul Ikhsan, kepala pengacara para penggugat, mengatakan pengadilan menolak kasus itu Selasa (29/11) karena peraturan daerah (perda) provinsi Aceh yang digugat tidak memberikan kerugian material untuk mereka.
Aceh, yang mendapat otonomi khusus berdasarkan persetujuan perdamaian tahun 2005 dengan para pemberontak, memberlakukan rencana penggunaan lahan tahun 2013 yang bertentangan dengan undang-undang nasional mengenai perlindungan hutan Leuser.
Sembilan pemimpin komunitas mengajukan gugatan bulan Januari, meminta pengadilan memerintahkan Kementerian Dalam Negeri untuk mencabut perda tersebut.
Mereka mengatakan perda tersebut mengancam ekosistem Leuser dengan memungkinkan perubahan wilayah itu menjadi hutan-hutan industrial dan pertambangan. Pemerintah daerah sejauh ini telah mengeluarkan 23 izin pertambangan dalam wilayah tersebut, ujar mereka.
Para ahli konservasi mengatakan 1,8 juta hektar hutan, yang terbentang dari Aceh sampai Sumatera Utara, adalah satu-satunya tempat di dunia di mana orangutan, badak, gajah dan harimau berbagi habitat alam liar. Masing-masing dari empat spesies Sumatera tersebut dalam keadaan terancam.
Pengacara Nurul Ikhsan mengatakan mereka akan mengajukan banding.
Pemerintah telah menetapkan moratorium atas izin-izin bru untuk penebangan hutan perawan namun penebangan terus terjadi. Wilayah besar hutan dibakar setiap tahun untuk perkebunan kelapa sawit dan kayu pulp. Penebangan ilegal juga menjadi masalah.
Sebuah studi yang diterbitkan jurnal Nature Climate Change memperkirakan bahwa pada 2012, Indonesia telah membuka 840.000 hektar lahan hutan per tahun, lebih dari negara mana pun. [hd]