Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengungkapkan beberapa penyebab nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang sempat anjlok hingga level Rp16.300 per USD.
Satu di antaranya, menurut Josua, ketidakpastian pasar saat ini terkait kebijakan perdagangan Amerika Serikat sebelum Presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump dilantik Januarimendatang, terutama dalam hal tarif impor.
Selain itu, katanya, ekspektasi pasar yang berharap bank sentral Amerika Serikat atau The Fed akan memangkas suku bunga lebih besar ternyata tidak terjadi. The Fed hanya memangkas suku bunga 25 basis poin (bps). The Fed juga mengindikasikan akan adanya suku bunga yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih panjang.
Kondisi geopolitik yang belum mereda, termasuk di Timur Tengah, ujar Josua, uga ikut mempengaruhi ketidakpastian di pasar keuangan global saat ini. “Apakah (pelemahan) ini akan berlanjut? Semuanya akan bergantung bagaimana kebijakan setelah Trump dilantik. Apakah hanya ancaman semata, atau benar kejadian? Jadi balik lagi semuanya akan bergantung pada kebijakan Trump,” ungkap Josua.
Meski begitu, katanya jika dilihat secara fundamental, perekonomian tanah air masih dalam kondisi baik yang salah satunya terlihat dari neraca perdagangan yang kembali surplus meskipun tipis. Selain itu, Josua meyakini, Bank Indonesia akan terus mengintervensi pasar sehingga rupiah berpotensi bergerak di bawah Rp16.000.
“Level saat ini adalah level undervalue yang artinya tidak sesuai dengan fundamental karena kalau kita mengikuti faktor fundamentalnya mestinya rupiah itu pastinya sudah bergerak di bawah Rp16.000. Jadi kalau saat ini sudah tembus Rp16.300 berarti ini faktor sentimen yang bermain karena dipengaruhi oleh ekspektasi kebijakan Trump yang akhirnya berimplikasi kepada ekspektasi penurunan suku bunga The Fed yang tidak sebesar perkiraan sebelumnya. Jadi artinya ini yang paling mempengaruhi saat ini , yang membuat rupiah ikut melemah bersama mata uang global lainya,” jelasnya.
Sementara itu, ekonom Indef Tauhid Ahmad menilai pasar cukup terpengaruh dengan pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada BI terkait dugaan penyalahgunaan dana CSR (corporate social responsibility) -- dana yang digunakan untuk kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan.
“Tentu faktor KPK kemarin itu menjadi faktor utama. Para pelaku pasar meragukan governance di BI. Itu walaupun (bukti) belum ada, para pelaku pasar tentu bertanya governance-nya ada tidak? Artinya meragukan dari konsekuensi independensi, dan lain-lain. Sehingga orang melihat sebegitu kekurang hati-hatiannya dalam pengelolaan internal sehingga pelaku pasar melihat ini memberikan efek buruk,” ungkap Tauhid.
Sama halnya dengan Josua, Tauhid juga menjelaskan bahwa faktor eksternal seperti penantian akan kebijakan Trump sangat ditunggu oleh pasar. Kebijakan The Fed yang terindikasi tidak akan menurunkan suku bunganya, menurut Tauhid, secara cepat juga mempengaruhi para pelaku pasar untuk menarik investasinya dari negara-negara emerging market, seperti Indonesia
“Yang akan terjadi adalah capital outflow dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Itu yang memukul Rupiah,” ungkap Tauhid.
Tauhid juga berpendapat, para investor asing masih menganggap perekonomian Indonesia belum memiliki prospek yang baik , sehingga mereka cenderung melarikan uangnya ke dolar Amerika Serikat.
“Saya kira sampai akhir tahun masih ya pelemahan, tergantung nanti seberapa jauh peredaman isu BI supaya langkah BI di pasar terutama untuk di pasar valuta maupun kebijakan SRBI (Sekuritas Rupiah Bank Indonesia). Pasti SRBI akan naik lagi bunganya supaya uang bisa masuk lagi dan rupiah bisa ditekan. Kalau misalnya BI gerak cepat untuk melakukan beberapa agenda tadi, saya kira bisa menurun tetapi secara perlahan, tapi kalau engga ya rupiah akan terbang lagi. Saya kira tembus Rp16.500, sangat mungkin,” jelasnya.
Sebelumnya, pada pekan lalu Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menjelaskan pelemahan nilai tukar rupiah yang pernah tembus hingga Rp16.300 per USD.
“Pelemahan nilai tukar rupiah tersebut dipengaruhi oleh semakin tingginya ketidakpastian global, terutama terkait dengan arah kebijakan Amerika Serikat, ruang penurunan Fed Fund Rate yang lebih rendah, penguatan mata uang dolar Amerika Serikat secara luas, serta risiko geopolitik yang mengakibatkan berlanjutnya preferensi investor global untuk memindahkan alokasi portofolionya kembali ke Amerika Serikat,” ungkap Perry.
Meski melemah, Perry menyebut bahwa nilai tukar rupiah tetap terkendali. Pelemahan tersebut, katanya, tidak seburuk yang dialami mata-mata uang lain, seperti dolar Taiwan yang melemah 5,58 persen, peso Filipina yang melemah 5,94 persen dan won Korea yang anjlok 10,47 persen.
Perry memperkirakan nilai tukar rupiah kelak akan stabil didukung dengan komitmen dari Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, imbal hasil yang tetap menarik, inflasi yang rendah, dan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap baik.
“Seluruh instrumen moneter akan terus dioptimalkan termasuk penguatan strategi operasi moneter pro market melalui optimalisasi instrumen SRBI, sekuritas valas BI (SVBI), dan sukuk valas BI (SUVBI) untuk memperkuat efektivitas kebijakan dalam menarik aliran masuk investasi portofolio asing dan mendukung penguatan nilai tukar rupiah,” jelasnya.
Dalam kesempatan ini, Perry mengakui bahwa penyelidikan KPK tentu saja mempengaruhi pasar. Namun, pihaknya kata Perry akan senantiasa menjaga stabilitas pasar keuangan terutama di dalam negeri.
“Apakah ini berpengaruh terhadap kondisi pasar? Segala berita itu akan berpengaruh kepada kondisi pasar termasuk nilai tukar, tentu saja demikian. Tentu saja BI dengan berbagai berita-berita yang berpengaruh terhadap pasar termasuk nilai tukar, BI tetap berkomitmen menjaga stabilitas nilai tukar melalui intervensi, melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) dari pasar sekunder maupun langkah-langkah lain, termasuk SRBI,” pungkasnya. [gi/ab]
Forum