“Saya ingin membahas apa yang terjadi selama beberapa jam terakhir di Timur Tengah. Saya ingin menegaskan bahwa Israel memiliki hak untuk mempertahankan diri, dan saya dengan tegas mendukung hak Israel untuk tetap aman dan mempertahankan keamanan Israel. Apa yang kita ketahui, khususnya, adalah bahwa Israel memiliki hak untuk mempertahankan diri dari organisasi teroris, seperti Hizbullah. Meskipun demikian kita tetap akan mengupayakan solusi diplomatik untuk mengakhiri serangan-serangan ini, dan kami akan terus melakukan upaya tersebut.”
Inilah petikan pernyataan Wakil Presiden AS Kamala Harris sesaat setelah mendarat di Hartsfield Jackson International Airport di Atlanta, Georgia, hari Selasa (30/7).
Pernyataan tersebut senada dengan yang disampaikannya saat bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Washington DC pada Kamis (25/7) lalu. Tetapi ketika itu, Kamala juga mengisyaratkan perubahan kebijakan dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Hal ini tampak ketika ia menyampaikan keprihatinan serius dengan terus bertambahkan korban jiwa di Gaza, dan menyerukan gencatan senjata.
"Kita tidak bisa berpaling dari tragedi ini. Kita tidak dapat membiarkan diri kita mati rasa terhadap penderitaan ini dan saya tidak akan diam,” tegasnya ketika itu.
Namun pengamat hubungan internasional di Universitas Diponegoro, Mohamad Rosyidin, ragu akan perubahan kebijakan yang diisyaratkan Kamala. Ia menilai pernyataan-pernyataan Kamala itu hanya untuk meraih suara kalangan pro-perdamaian di AS, yang menurutnya akan kalah ketika berhadapan dengan lobi dari kelompok pro-Israel yang sangat kuat.
"Di dalam Amerika sendiri, suara-suara yang mendukung Palestina dan kemerdekaan Palestina lebih didominasi oleh kalangan muda. Sementara kalangan tua lebih banyak yang mendukung Israel. Riset di Pew Reserach Center menunjukkan lebih dari separuh warga Amerika itu mendukung Israel. Sementara yang (mendukung) Palestina dan menghendaki perdamaian di Palestina paling 30-an persen," katanya kepada VOA.
Meski demikian Rosyidin mengakui Kamala memiliki perhatian sangat serius pada isu-isu kemanusiaan dan kesetaraan karena dia berasal dari kelompok minoritas.
Hal senada disampaikan pengamat hubungan internasional dari Badan Riset dan Inovasi Nasional BRIN, Nanto Sriyanto, yang menilai meskipun kelompok pemilih Muslim, Arab, dan solidaritas pro-perdamaian di AS makin besar, tetapi belum tentu menjadi suara penentu dalam pilpres November mendatang.
Tetapi ia tetap yakin kelompok tersebut akan dapat mendesakkan perubahan kebijakan dan cara pandang dalam isu Israel-Palestina seiring semakin berlarut-larutnya perang di Gaza.
"Dalam berbagai ulasan, apakah ini akan menjadi semacam indikasi penekanan Amerika agar Israel kemudian juga dituntut standar kepatutan dalam melaksanakan operasi (militer di Gaza), dibanding yang selama ini seperti diberikan cek kosong untuk melakukan apapun atas nama pembelaan diri," ujarnya. [fw/em]
Forum