Anggota parlemen Hong Kong pada Rabu (27/10) meloloskan amandemen RUU Sensor Film yang memungkinkan pihak berwenang melarang pemutaran film yang sudah atau sedang tayang, yang dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional.
Orang-orang yang terbukti bersalah memproduksi film semacam itu dapat dihukum hingga tiga tahun penjara dan denda $128 ribu (Rp1,8 miliar).
Juni lalu, pemerintah Hong Kong mengumumkan usulan amandemen undang-undang pengaturan film di wilayah itu. Para sineas, baik lokal maupun luar negeri, mengatakan kepada VOA bahwa langkah itu akan melumpuhkan industri film Hong Kong.
Pada pertemuan Dewan Legislatif Hong Kong – parlemen kota tersebut – ketika RUU itu disahkan, Priscilla Leung Mei-fun, anggota parlemen yang pro-Beijing mengatakan, “Tidak ada masyarakat di dunia ini yang menyambut baik kekuatan yang mendorong generasi muda untuk melanggar hukum, memendam kebencian terhadap negaranya sendiri dan merangkul terorisme,” lapor surat kabar The South China Morning Post.
Sebelumnya, Federasi Pembuat Film Hong Kong mengatakan pihaknya “khawatir” akan aturan baru itu. Namun, ketika dihubungi oleh VOA, mereka tidak memberikan komentar lebih lanjut.
Christopher Ling, sutradara iklan dan sineas di Hong Kong, mengatakan kepada VOA awal tahun ini bahwa undang-undang itu menimbulkan kekhawatiran di kalangan industri.
“Untuk film-film yang tidak peduli pada pasar China, kebanyakan film Hong Kong bebas menyuarakan apa yang ingin diangkat sang sutradara.”
“Setelah undang-undang tersebut (disahkan), itu tampaknya tidak lagi berlaku. Dan bagian yang paling mengerikan adalah pemerintah berhak memutuskan apa yang boleh dan tidak. Tidak ada indikasi yang jelas tentang apa yang bisa diangkat atau tidak,” ungkapnya.
Ling mengatakan, film-film yang dianggap sensitif secara politik biar bagaimanapun akan terpengaruh, sekalipun tidak diputar di Hong Kong.
“Terlepas dari film Hong Kong, saya juga khawatir banyak film tidak bisa diimpor dan didistribusikan di Hong Kong mulai sekarang. Jangankan film berskala besar, film independen pun dikhawatirkan seperti itu… sineas seharusnya khawatir peraturan itu akan mempengaruhi mereka,” tambahnya.
Meski demikian, Kenny Kwok Kwan Ng, lektor Akademi Perfilman di Hong Kong Baptist University, mengatakan kepada VOA bahwa undang-undang itu kemungkinan besar menyasar film-film independen, ketimbang film komersial bermodal besar.
“Dampak utama mungkin dirasakan film-film dokumenter. Khususnya beberapa tahun dan dekade terakhir, ada peningkatan jumlah film dokumenter, bukan komersial, yang diproduksi secara lebih independen, yang juga merekam aksi-aksi sosial, krisis-krisis sosial.”
“Film-film itu lebih rentan terdampak undang-undang penyensoran, karena jika mereka merekam aksi, hal-hal yang dianggap pemerintah berisiko atau tidak diinginkan atau membahayakan kerukunan sosial, keamanan sosial – ini mungkin akan dilarang diputar untuk umum,” ujar Ng kepada VOA melalui sambungan telepon.
Ng mengatakan, ia mencoba bersikap optimistis, karena UU penyensoran itu dapat mendorong sineas baru agar lebih kreatif dalam membuat film independen.
Akan tetapi, dengan berlakunya UU itu, Ng mengatakan para pembuat film sudah mulai mencari kanal alternatif untuk menampilkan karya mereka dan menghindari penyensoran.
Ada beberapa contoh aksi penyensoran yang sudah terjadi pada industri film Hong Kong.
Maret lalu, sebuah bioskop setempat membatalkan penayangan film dokumenter pemenang penghargaan, Inside the Red Brick Wall. Dokumenter itu berpusat pada bentrokan antara pengunjuk rasa dan polisi di Universitas Politeknik Hong Kong pada November 2019, yang berlangsung selama dua pekan.
Pada bulan yang sama, jaringan TV terbesar di Hong Kong, Television Broadcast Ltd (TVB), membatalkan penayangan acara penganugerahan the Academy Awards untuk pertama kalinya dalam 50 tahun, dengan alasan komersial. Keputusan itu diambil karena China meminta media mengurangi peliputan acara penghargaan itu setelah dokumenter berjudul Do Not Split karya sineas Norwegia, Anders Hammer, menerima nominasi Oscar. Dokumenter itu mengangkat demonstrasi anti-pemerintah Hong Kong yang banyak diberitakan.
Pemerintah China akhir-akhir ini menyasar industri hiburan, salah satunya dengan mengatur standar kecantikan dan upaya untuk mengekang “selebriti pria yang berperilaku seperti wanita.” China juga tidak senang dengan sikap politik sutradara kelahiran Beijing, Chloe Zhao, yang beberapa kali memenangkan penghargaan sebagai sutradara terbaik untuk filmnya, Nomadland. [rd/ka]