Pengampunan empat kontraktor Blackwater yang dihukum dalam insiden penembakan yang menewaskan 14 warga sipil Irak telah memicu kemarahan dari sejumlah aktivis HAM dan warga Irak.
Penembakan di sebuah bundaran lalu lintas yang sibuk di Baghdad pada September 2007 memicu protes internasional dan meninggalkan reputasi buruk pada operasi Amerika di puncak Perang Irak. Penyelidikan dan proses pengadilan selama bertahun-tahun berakhir pada 2014 dengan vonis terhadap empat kontraktor Blackwater.
Keputusan Presiden Donald Trump pada Selasa (22/12) untuk mengampuni Nicholas Slatten, Paul Slough, Evan Liberty dan Dusting Heard memicu kemarahan banyak kalangan dan disebut sebagai kegagalan hukum.
Berita ini datang pada saat yang sulit bagi para pemimpin Irak, yang sedang berupaya menyeimbangkan seruan yang kian kencang dari beberapa faksi di Irak agar Amerika menarik mundur seluruh pasukannya dari negara itu, atau menarik mundur pasukan secara bertahap.
“Perusahaan Blackwater yang dikenal keji telah membunuh warga sipil Irak di Nissour Square. Hari ini kami mendengar bahwa mereka dibebaskan atas perintah pribadi Presiden Trump, seolah-olah mereka (Amerika.red) tidak peduli dengan darah tumpahnya darah rakyat Irak di sana,” ujar Saleh Abed, warga Baghdad yang berjalan di perempatan berdarah itu.
Kantor Hak Asasi Manusia PBB, Rabu (23/12), mengatakan “sangat prihatin” dengan pengampunan, yang dikatakan “telah berkontribusi pada kekebalan dan menimbulkan dampak buruk yaitu memberanikan orang lain melakukan kejahatan semacam itu di masa depan.”
Kementerian Luar Negeri Irak mengatakan pengampunan itu “tidak mempertimbangkan keseriusan kejahatan yang dilakukan (para pelaku),” dan akan mendesak Amerika untuk mempertimbangkan kembali keputusan itu.
Al Razzaq, ayah seorang anak laki-laki yang tewas dalam insiden penembakan itu, mengatakan pada BBC bahwa keputusan pengampunan itu “kembali menghancurkan hidup saya.”
Tim kuasa hukum bagi keempat kontraktor, yang telah membela keempatnya secara agresif selama lebih dari sepuluh tahun, memberi pandangan berbeda.
Mereka telah sejak lama menegaskan bahwa penembakan itu terjadi setelah keempat orang itu disergap dan ditembaki oleh para pemberontak dan mereka membalas untuk mempertahankan diri. Mereka menunjuk masalah yang ada dalam proses penuntutan – dakwaan pertama dibatakan oleh hakim – dan menilai sidang yang berakhir dengan vonis terhadap mereka telah dinodai oleh kesaksian palsu dan penahanan bukti.
“Paul Slough dan rekan-rekannya tidak layak menghabiskan satu menit pun di penjara,” ujar Brian Heberlig, pengacara salah seorang dari empat terdakwa yang diampuni Trump. “Saya sangat terharu mendengar berita fantastis ini,” tambahnya.
Meskipun situasi yang melingkupi penembakan itu telah diperdebatkan sejak lama, tidak diragukan lagi bahwa insiden 16 September 2007 merupakan titik terendah hubungan diplomatik Amerika dan Irak. Penembakan itu dimulai setelah para kontraktor diperintahkan membuat jalur evakuasi yang aman bagi seorang pejabat setelah ledakan bom mobil.
Insiden penembakan tersebut terjadi hanya beberapa tahun setelah skandal penyiksaan di Abu Ghraib.
FBI dan Kongres membuka penyelidikan penembakan di Nissour Square itu. Departemen Luar Negeri, yang menggunakan perusahaan Blackwater untuk keamanan para diplomat, memerintahkan peninjauan kembali praktik itu. Para kontraktor itu kemudian didakwa atas kematian 14 warga sipil, termasuk anak-anak. Jaksa penuntut umum menyebut insiden itu sebagai serangan liar yang tidak beralasan oleh penembak jitu, dengan menggunakan senapan mesin dan peluncur granat, terhadap warga Irak yang tidak bersenjata.
Robert Ford, yang bertugas sebagai diplomat Amerika di Irak selama lima tahun, menemui para janda dan kerabat lain korban setelah pembunuhan itu. Ia menyerahkan amplop uang sebagai kompensasi dan permintaan maaf resmi Amerika, meskipun sejak penyelidikan itu berlangsung tidak ada pihak yang mengakui kesalahan.
“Ini adalah salah satu satu peristiwa terburuk yang dapat saya ingat ketika saya berada di Irak,” ujar Ford, yang kini mengajar di Universitas Yale. “(Insiden) itu sangat mengerikan. Kita telah membunuh kerabat orang-orang ini dan mereka masih sangat berduka,” ujarnya.
Dalam wawancara pada Rabu (23/12), Ford mengingat kembali bagaimana beberapa janda menerima amplop itu dalam diam. Sebagian anggota keluarga laki-laki, dengan getir mengatakan “mengapa kalian melakukan hal ini? Harus ada keadilan.”
Hal lain yang menimbulkan kemarahan warga Irak adalah keterlibatan Blackwater, perusahaan keamanan yang didirikan oleh Erik Prince, mantan anggota Navy SEAL yang merupakan sekutu dekat Trump dan adik Menteri Pendidikan Betsy DeVos. Perusahaan itu memiliki reputasi buruk karena bertindak tanpa dapat dikenai sanksi hukum dan para kontraktornya dituduh kerap melepaskan tembakan hanya karena urusan kecil sekali pun, misalnya, untuk membuat lalu lintas perjalanan mereka lancar.
Kajian terhadap laporan insiden Blackwater sendiri pada 2007 oleh faksi Demokrat di DPR mendapati bahwa para kontraktor Blackwater melaporkan bahwa mreka terlibat dalam 196 penembakan “eskalasi kekuatan” dalam kurun waktu dua tahun. Dari jumlah itu, Blackwater melaporkan dalam 80 persen kasus para kontraktornya melepaskan tembakan lebih dulu. [em/ft]