Bukan hanya mengubah wajah seseorang dari swafoto atau selfie menjadi lukisan wajah bergaya Van Gogh, perangkat lunak AI Art Generator bahkan dapat membuat lukisan dalam waktu singkat, hanya dengan memasukan perintah dalam bentuk tulisan.
Bagaimana teknologi kecerdasan buatan ini menghasilkan karya seni?
“AI ini sendiri juga bisa membuat gambar tersebut karena ditraining dengan berbagai image dari seluruh dunia. Untuk membuat hasilnya menjadi lebih sempurna, AI ini memerlukan data set yang sangat banyak sehingga banyak dari mereka mengambil image-image dari internet,” ujar seniman digital Raiyan Laksamana kepada VOA belum lama ini.
“Kalau menyangkut art, mereka banyak mengambil dari misalnya art station atau beberapa artist yang memposting pekerjaannya di internet. Ada juga mungkin dari film, dari ilustrasi, dan banyak lagi,” tambahnya.
Raiyan adalah CEO perusahaan Visi 8 yang menaungi beberapa Intellectual Property (IP) Indonesia. Ia juga sudah sering bekerja sama dengan rumah produksi di Jepang.
Kontroversi penggunaan kecerdasan buatan semakin disorot publik setelah Jason Allen, seorang desainer game, mengantongi hadiah utama di kompetisi seni rupa Colorado State Fair, dengan menggunakan AI Art Generator.
Ario Anindito, komikus dari Bandung yang saat ini dipercaya menjadi salah seorang illustrator utama komik-komik produski Marvel menilai hal ini bisa merugikan artis atau seniman lain.
“Yang salah dari AI generator ini adalah ketika dia ngambil style dari artis-artis yang sudah ada, jadi artis-artis itu enggak pernah memberikan izin secara konsensual untuk gayanya dipakai buat generating AI image itu yang sebenarnya merugikan. Itu yang seharusnya kita cari cara untuk jangan sampai terjadi tindakan pencurian style atau pelanggaran hak cipta itu,” kata Ario.
Selain masalah etika, yang menimbulkan kekhawatiran lain para seniman adalah kecepatan teknologi kecerdasan buatan dalam menghasilkan apa yang disebut sebagai karya seni. Jika seorang seniman memerlukan waktu 3-7 hari untuk merancang konsep awal, AI generator dapat bekerja dalam waktu kurang dari satu menit.
“Hal ini membuat para artis dan seniman itu concern gitu bahwa teknologi ini akan take away their source of living atau yang yang kedua juga membuat si pembuatan seni artistik seperti concept art menjadi sangat murah banget gitu dan akhirnya menghancurkan harganya mereka,” kata Raiyan.
Tapi bagi Ario, nilai karya seni yang dihasilkan tangan manusia justru bisa jadi kebalikannya.
“Sebenarnya yang kaya gini-gini justru akan membuat karya asli seorang seniman tuh harusnya semakin mahal semakin langka, karena kalau misalnya dia bikin benar-benar pakai tangan manusia itu justru akan jadi sesuatu yang bernilai gitu. Ibaratnya di antara 1000 karya yang dihasilkan oleh AI, satu yang benar-benar dihasilkan sama manusia itu akan lebih berarti,” kata Ario.
Lepas dari kontroversi yang terjadi, Ario mengakui semakin maraknya penggunaan teknologi kecerdasan buatan untuk menghasilkan karya seni merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari.
Salah satu platform AI ternama, Dall-E, mengatakan telah menghasilkan lebih dari dua juta gambar per hari.
“Kemajuan teknologi AI atau robotik atau apapun itu ya kayak metaverse, NST dan sebagainya itu nggak bisa distop karena emang seiring dengan perkembangan teknologi it will happen kayak kita nonton Terminator gitu nggak ada yang bisa nyetop Cyberdyne. Yang bisa kita lakukan adalah make sure regulasinya atau penggunaannya tidak melanggar,” kata Ario.
Menurut Raiyan AI seharusnya dapat digunakan sebagai alat oleh para seniman untuk berkarya secara lebih cepat.
“Karena kalau saya lihat AI ini juga enggak bisa sepenuhnya otonomus dari manusia. Mereka tetap butuh semacam kayak referensi, guide dari seniman manusia supaya hasilnya menjadi optimal,” tambah Raiyan.
Pada akhirnya, Raiyan menambahkan bahwa para seniman dan pelaku industri perlu beradaptasi dan mempelajari mengenai AI jika ingin terus bersaing dan mengikuti tren yang tengah berkembang dalam industri ini. [ii/em]
Forum