Organisasi-organisasi HAM memperingatkan tentang krisis kemanusiaan yang menjelang, sementara Bangladesh melakukan persiapan akhir untuk mulai memulangkan pengungsi Muslim Rohingya ke Myanmar, di mana mereka telah menjadi sasaran pembunuhan di luar proses hukum serta kekejaman lainnya.
Sebagaimana yang dilaporkan wartawan VOA Bill Gallo, langkah tersebut terjadi sementara Amerika Serikat menekan Myanmar untuk menyelesaikan krisis ini.
Kebingungan dan juga ketakutan terasa di kamp pengungsi di Bangladesh, di mana Muslim Rohingya menghadapi kemungkinan dipulangkan ke Myanmar.
Sebagian pengungsi mengatakan kepada VOA mereka tidak ingin kembali.Seperti diungkapkan Sayeda Khatun berikut ini, "Rakyat Myanmar menyiksa dan membantai kami, jadi kami ke sini demi keselamatan. Kami datang ke sini untuk mencari keadilan.”
Seorang pengungsi lainnya, Mohammad Anowar, mengatakan,"Kami tidak meminta banyak. Kami hanya menginginkan hak-hak kami. Apabila kami mendapatkan kewarganegaraan, kami tidak perlu dipulangkan. Kami akan kembali sendiri. Cara kami datang sama dengan cara kami kembali.”
Sejak 2017, ratusan ribu warga Rohingya lari meninggalkan Myanmar untuk menghindarkan diri sebagai target serangan-serangan, termasuk pembunuhan dan pemerkosaan, oleh militer. Penindasan militer itu terjadi sebagai tanggapan atas serangan-serangan yang dilakukan militan Rohingya.
Bulan lalu, Bangladesh dan Myanmar mengumumkan akan mulai memulangkan Rohingya. Menurut berbagai organisasi HAM, hal tersebut merupakan langkah yang ceroboh.
Bill Frelich, Direktur Program Hak-Hak Pengungsi Human Rights Watch melalui Skype mengemukakan, "Mereka memerlukan keadilan, dan mereka memerlukan jaminan bahwa mereka tidak akan langsung kembali menghadapi situasi konflik di mana mereka akan dipersekusi dan dianiaya lagi. Tidak ada satu jaminanpun mengenai hal tersebut yang diberikan.”
Karena takut akan dipulangkan secara paksa, sejumlah pengungsi Rohingya telah melarikan diri dari kamp-kamp. Human Rights Watch menyatakan tentara Bangladesh berusaha mencegah mereka pergi.
Bill Frelich dari Human Rights Watch menambahkan, "Dan di atas semua itu, daftar (pengungsi) yang disediakan antara para pejabat Bangladesh dan Myanmar adalah suatu daftar yang pada dasarnya diambil secara acak. Saya berbicara kepada kepala program pemulangan pengungsi di pemerintah Bangladesh yang mengatakan, ‘Ya, kami baru menerima satu daftar registrasi dan menggunakan itu,’ Jadi tidak ada persetujuan dari yang bersangkutan.”
Sementara itu Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence yang berada di Singapura untuk mengikuti sebuah KTT regional pada hari Rabu mengecam keras pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, terkait krisis tersebut.
Pence mengatakan, "Tidak ada maaf bagi kekerasan dan persekusi oleh militer dan mereka yang main hakim sendiri yang telah mengakibatkan 700 ribu Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.”
Sebagian pakar menyambut baik respons lebih keras dari Amerika Serikat. Seperti yang disampaikan Olivia Enos dari lembaga kajian Heritage Foundation.
"Anda melihat gagalnya penegakan hukum dan keadilan di Myanmar, di mana militer Myanmar benar-benar bertindak dengan impunitas total. Menurut saya penting sekali bagi Amerika dan bagi Barat, bagi negara-negara lainnya, untuk benar-benar menekan ASEAN dan menyatakan, kami mengawasi Anda, dan kami akan menuntut pertanggungjawaban orang-orang itu.”
Pemerintah Myanmar membantah penganiayaan terhadap Rohingya, seraya menyatakan tindakannya adalah untuk menanggapi serangan-serangan tahun 2017 yang dilakukan sebuah kelompok bersenjata Rohingya. [uh/lt]