Suara keras, marah dan frustrasi dari para pengunjuk rasa menyambut delegasi dalam Konferensi Iklim PBB, COP28, di Dubai pada Selasa (5/12).
Ina Maria Shikongo, aktivis iklim dari Namibia, menjadi salah satu di antara para pengunjuk rasa tersebut.
“Kemajuannya sangat lambat dan kita semua tahu bahwa ada konflik kepentingan yang sangat besar, yang terlihat di negara ini. Dan kita juga bisa melihat bagaimana suara masyarakat ditindas,” ujar Shikongo.
Para pengunjuk rasa di luar lokasi acara menyerukan lebih banyak penggunaan energi terbarukan, penghentian penggunaan bahan bakar fosil, dan apa yang mereka sebut “transisi yang adil” dari bahan bakar fosil.
Para aktivis mengadakan serangkaian acara dan aksi pada hari Selasa di KTT iklim PBB yang bertujuan untuk meningkatkan tekanan terhadap peserta konferensi, agar setuju untuk menghentikan pemakaian batu bara, minyak dan gas, yang bertanggung jawab atas sebagian besar emisi dunia, dan beralih ke energi ramah lingkungan, dengan cara yang adil.
Pertanyaan tentang cara menangani bahan bakar fosil menjadi inti pembicaraan dari konferensi, yang muncul setelah satu tahun rekor suhu panas dan cuaca ekstrem yang merusak di seluruh dunia.
Sharif Jamil, aktivis dan pemimpin LSM dari Bangladesh turut bersuara.
“Pemerintah benar-benar, pola pikir dan psikologi mereka sangat berlawanan dengan apa yang dipikirkan masyarakat. Namun hal positifnya adalah masyarakat mendengarkan kami. Masyarakat semakin sadar dan bersatu. Jadi, ketika masyarakat semakin bersatu, maka pemerintah harus mendengarkan kita,” kata Jamil.
Bahkan ketika penggunaan energi ramah lingkungan terus meningkat, sebagian besar perusahaan energi berencana untuk terus melakukan upaya agresif dalam memproduksi bahan bakar fosil di masa depan. [ns/jm]
Forum