AMMAN —
Demonstran berkumpul di depan masjid besar Amman hari Jumat untuk melancarkan aksi paling keras sejauh ini menentang kerajaan di ibukota, dengan seruan untuk revolusi dan agar Raja Abdullah melakukan reformasi atau mundur.
Yordania secara umum terhindar dari gejolak yang melanda sebagian besar dunia Arab. Tetapi kebijakan pemerintah mengurangi subsidi BBM hari Selasa melepaskan gelombang kemarahan yang terpendam, dengan pemogokan dan protes terjadi di seantero negeri itu.
Di antara demonstran yang memadati pusat kota Amman hari Jumat adalah Abdelrahman Khwasawneh, dari Front Aksi Islamis, cabang politik Ikhwanul Muslimin.
Menurut Abdelrahman, terlalu banyak tekanan akan menyebabkan ledakan. Itu dimulai dengan inflasi di Tunisia, dan meluas ke Mesir dan Suriah. Ditambahkan, "kami tidak ingin Amman menjadi bom yang akan meledak."
Bagi sebagian demonstran, ketakutan bahwa kekacauan dan keterpurukan ekonomi lebih lanjut, yang menyertai revolusi di bagian lain dunia, membuat mereka cemas akan dampak revolusi.
Suihaib Kalboneh, seorang buruh, datang ke demonstrasi itu bukan untuk menyerukan penggulingan raja. Kalboneh mengatakan ia menginginkan protes damai, bukan "vandalisme" - menggunakan gambaran pemerintah atas protes kekerasan dalam beberapa hari terakhir. Ia mengungkapkan raja sayang kepada rakyat, tetapi dia, dan orang-orang lain, menginginkan reformasi dan perubahan.
Dugaan korupsi oleh pejabat-pejabat pemerintah dan Pemilu yang dijadwalkan Januari juga memicu kemarahan. Kelompok oposisi utama, Front Aksi Islamis, menilai Pemilu itu tidak adil sehingga memboikotnya.
Nimar al Assaf, wakil sekretaris partai itu, mengatakan seharusnya ada pembagian kekuasaan yang lebih besar. Ia menilai kepemimpinan kini sebagai kerajaan mutlak, bukan konstitusional seperti tertera di atas kertas.
"Kami tidak meminta sesuatu yang tidak mungkin. Kami meminta praktek-praktek demokrasi diterapkan di seluruh dunia," papar Nimar al Assaf.
Hassan Barriri, profesor ilmu politik pada Yordan University, mengatakan negara itu berada di simpang jalan.
"Kita harus melihat kemarahan rakyat, yang benar-benar berbahaya. Ada senjang kepercayaan antara negara dan masyarakat. Sayangnya, kesenjangan itu semakin luas, lebih dalam, dan tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi,” demikian ungkap Hassam Barriri.
Para demonstran menyerukan aksi lebih lanjut, termasuk seruan untuk melakukan pemogokan umum pada hari Minggu besok (18/11).
Yordania secara umum terhindar dari gejolak yang melanda sebagian besar dunia Arab. Tetapi kebijakan pemerintah mengurangi subsidi BBM hari Selasa melepaskan gelombang kemarahan yang terpendam, dengan pemogokan dan protes terjadi di seantero negeri itu.
Di antara demonstran yang memadati pusat kota Amman hari Jumat adalah Abdelrahman Khwasawneh, dari Front Aksi Islamis, cabang politik Ikhwanul Muslimin.
Menurut Abdelrahman, terlalu banyak tekanan akan menyebabkan ledakan. Itu dimulai dengan inflasi di Tunisia, dan meluas ke Mesir dan Suriah. Ditambahkan, "kami tidak ingin Amman menjadi bom yang akan meledak."
Bagi sebagian demonstran, ketakutan bahwa kekacauan dan keterpurukan ekonomi lebih lanjut, yang menyertai revolusi di bagian lain dunia, membuat mereka cemas akan dampak revolusi.
Suihaib Kalboneh, seorang buruh, datang ke demonstrasi itu bukan untuk menyerukan penggulingan raja. Kalboneh mengatakan ia menginginkan protes damai, bukan "vandalisme" - menggunakan gambaran pemerintah atas protes kekerasan dalam beberapa hari terakhir. Ia mengungkapkan raja sayang kepada rakyat, tetapi dia, dan orang-orang lain, menginginkan reformasi dan perubahan.
Dugaan korupsi oleh pejabat-pejabat pemerintah dan Pemilu yang dijadwalkan Januari juga memicu kemarahan. Kelompok oposisi utama, Front Aksi Islamis, menilai Pemilu itu tidak adil sehingga memboikotnya.
Nimar al Assaf, wakil sekretaris partai itu, mengatakan seharusnya ada pembagian kekuasaan yang lebih besar. Ia menilai kepemimpinan kini sebagai kerajaan mutlak, bukan konstitusional seperti tertera di atas kertas.
"Kami tidak meminta sesuatu yang tidak mungkin. Kami meminta praktek-praktek demokrasi diterapkan di seluruh dunia," papar Nimar al Assaf.
Hassan Barriri, profesor ilmu politik pada Yordan University, mengatakan negara itu berada di simpang jalan.
"Kita harus melihat kemarahan rakyat, yang benar-benar berbahaya. Ada senjang kepercayaan antara negara dan masyarakat. Sayangnya, kesenjangan itu semakin luas, lebih dalam, dan tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi,” demikian ungkap Hassam Barriri.
Para demonstran menyerukan aksi lebih lanjut, termasuk seruan untuk melakukan pemogokan umum pada hari Minggu besok (18/11).