YOGYAKARTA —
Antrian panjang kendaraan, terutama truk dan angkutan umum, di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), menjadi pamandangan yang mudah ditemui di Yogyakarta dan Jawa Tengah dalam beberapa hari terakhir. Kondisi ini merupakan dampak dari penerapan kebijakan pemerintah terkait pengurangan jatah solar ke masing-masing SPBU.
Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) DIY, Jhony Sunu kepada VOA mengatakan pembatasan jatah solar ini tentu saja sangat memberatkan mereka. Pengusaha sektor transportasi kini menghadapi ketidakpastian, karena armada mereka membuang waktu jauh lebih banyak untuk antri di SPBU dibanding berada di jalanan.
“Memang idealnya (harga BBM) naik tapi pasokannya lancar. Karena (kelangkaan) itu membuat biaya mahal dan ketidakpastian. Kalau bisa gradual juga lebih baik, bisa untuk penyesuaian oleh masyarakat. Tapi kalau memang tidak bisa gradual, yang lebih baik (langsung) naik tapi pasokan terjamin, itu yang perlu,” kata Jhoni Sunu.
Jhony Sunu tidak menampik kemungkinan adanya kenaikan ongkos jasa transportasi jika BBM naik. Namun, kondisi itu masih bisa lebih diterima daripada bisnis tidak berjalan karena kendala bahan bakar.
Sementara itu, Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) DIY akan menyampaikan surat penolakan terkait rencana pemerintah menerapkan skema dua harga BBM yang berbeda. Sekretaris Hiswana Migas DIY, Siswanto menegaskan, skema itu rawan penyimpangan dan menimbulkan ketidakadilan bagi pengusaha bisnis bahan bakar.
“Dengan dua harga itu memang rawan konflik di tingkat bawah. Salah satu contoh, kalau memang itu nanti betul-betul menjadi acuan, apakah sekarang masyarakat kita mau untuk mentaati aturan itu, karena masyarakat pasti akan mencari barang yang lebih murah," kata Siswanto. "Bagi pengusaha SPBU, ini nanti kan akan dibagi siapa yang akan menjual dengan harga Rp 4.500 dan siapa yang akan menjual dengan harga Rp 6.500. Dengan demikian 'kan ada semacam SPBU yang kayaknya di 'anak emaskan' dan ada sebagian yang jadi anak tiri,” lanjutnya.
Heppy Wulansari, External Relation Pertamina Jateng dan DIY menerangkan bahwa sebagai operator, Pertamina tidak dapat berbuat banyak untuk mengatasi kelangkaan solar ini. Regulasinya, misalnya yang menyangkut kuota, tetap dipegang pemerintah. Kebijakan yang bisa diambil untuk mengurangi dampaknya adalah memetakan kebutuhan solar di setiap daerah, dan memberikan perhatian lebih ke wilayah dengan arus lalu lintas angkutan barang yang tinggi, yaitu kawasan jalur Pantai Utara Jawa (Pantura).
“Memang dari angkutan barang ini paling banyak kami lihat adalah di Pantura, meskipun di wilayah-wilayah lain juga ada tetapi tidak sebesar di Pantura. Sehingga untuk di Pantura sendiri, untuk pemberian alokasinya sejauh di ini di SPBU kawasan sana memang omzetnya lebih besar. Jadi kami memang melakukan penyesuaian kuota ini juga dengan melihat dari rata-rata omzet di masing-masing SPBU dalam tiga bulan terakhir, kemudian ini kita proporsionalkan dengan kuota yang ada,” jelas Heppy Wulansari.
Sekitar 60 persen pengguna solar di Jawa Tengah dan DIY adalah perusahaan jasa angkutan barang, 15 persen jasa trasportasi manusia, dan 15 persen lainnya adalah mobil pribadi. Sepuluh persen sisanya antara lain adalah nelayan dan petani untuk alat produksi mereka. Kelangkaan ini telah terjadi sejak sekitar dua minggu terakhir.
Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) DIY, Jhony Sunu kepada VOA mengatakan pembatasan jatah solar ini tentu saja sangat memberatkan mereka. Pengusaha sektor transportasi kini menghadapi ketidakpastian, karena armada mereka membuang waktu jauh lebih banyak untuk antri di SPBU dibanding berada di jalanan.
“Memang idealnya (harga BBM) naik tapi pasokannya lancar. Karena (kelangkaan) itu membuat biaya mahal dan ketidakpastian. Kalau bisa gradual juga lebih baik, bisa untuk penyesuaian oleh masyarakat. Tapi kalau memang tidak bisa gradual, yang lebih baik (langsung) naik tapi pasokan terjamin, itu yang perlu,” kata Jhoni Sunu.
Jhony Sunu tidak menampik kemungkinan adanya kenaikan ongkos jasa transportasi jika BBM naik. Namun, kondisi itu masih bisa lebih diterima daripada bisnis tidak berjalan karena kendala bahan bakar.
Sementara itu, Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) DIY akan menyampaikan surat penolakan terkait rencana pemerintah menerapkan skema dua harga BBM yang berbeda. Sekretaris Hiswana Migas DIY, Siswanto menegaskan, skema itu rawan penyimpangan dan menimbulkan ketidakadilan bagi pengusaha bisnis bahan bakar.
“Dengan dua harga itu memang rawan konflik di tingkat bawah. Salah satu contoh, kalau memang itu nanti betul-betul menjadi acuan, apakah sekarang masyarakat kita mau untuk mentaati aturan itu, karena masyarakat pasti akan mencari barang yang lebih murah," kata Siswanto. "Bagi pengusaha SPBU, ini nanti kan akan dibagi siapa yang akan menjual dengan harga Rp 4.500 dan siapa yang akan menjual dengan harga Rp 6.500. Dengan demikian 'kan ada semacam SPBU yang kayaknya di 'anak emaskan' dan ada sebagian yang jadi anak tiri,” lanjutnya.
Heppy Wulansari, External Relation Pertamina Jateng dan DIY menerangkan bahwa sebagai operator, Pertamina tidak dapat berbuat banyak untuk mengatasi kelangkaan solar ini. Regulasinya, misalnya yang menyangkut kuota, tetap dipegang pemerintah. Kebijakan yang bisa diambil untuk mengurangi dampaknya adalah memetakan kebutuhan solar di setiap daerah, dan memberikan perhatian lebih ke wilayah dengan arus lalu lintas angkutan barang yang tinggi, yaitu kawasan jalur Pantai Utara Jawa (Pantura).
“Memang dari angkutan barang ini paling banyak kami lihat adalah di Pantura, meskipun di wilayah-wilayah lain juga ada tetapi tidak sebesar di Pantura. Sehingga untuk di Pantura sendiri, untuk pemberian alokasinya sejauh di ini di SPBU kawasan sana memang omzetnya lebih besar. Jadi kami memang melakukan penyesuaian kuota ini juga dengan melihat dari rata-rata omzet di masing-masing SPBU dalam tiga bulan terakhir, kemudian ini kita proporsionalkan dengan kuota yang ada,” jelas Heppy Wulansari.
Sekitar 60 persen pengguna solar di Jawa Tengah dan DIY adalah perusahaan jasa angkutan barang, 15 persen jasa trasportasi manusia, dan 15 persen lainnya adalah mobil pribadi. Sepuluh persen sisanya antara lain adalah nelayan dan petani untuk alat produksi mereka. Kelangkaan ini telah terjadi sejak sekitar dua minggu terakhir.