KEROBOKAN, BALI —
Suara narapidana atau napi laki-laki menyanyikan lagu syukur sementara yang lain bermain di lapangan tenis di tengah taman yang rindang tidak memperlihatkan suasana penjara yang telah berubah.
Namun bagi mereka yang telah menghabiskan waktu di penjara Kerobokan, Bali, mengatakan bahwa tempat itu masih jadi sarang penyuapan, narkoba dan seks, meski ada perombakan manajemen yang bertujuan untuk membersihkan citranya.
“Anda masih bisa mendapatkan apa saja yang Anda mau jika punya uang,” seorang napi asal Australia memberitahu kantor berita AFP di luar gereja yang ada di kompleks penjara. “Tidak ada perubahan yang berarti.”
Manajemen yang baru dibentuk Februari lalu setelah sipir dan kepala polisi Bali dipecat menyusul kerusuhan di penjara yang berlangsung berhari-hari, dipicu oleh penusukan dalam perang antar gang, yang semakin mencemari reputasi penjara yang buruk.
Sekitar 1.000 polisi dikaryakan pada peristiwa tersebut, menyiram air dan peluru karet untuk mengamakan fasilitas penjara yang terlalu penuh, setelah para penjaga kabur karena tidak sanggup mengontrol kerusuhan.
Keamanan telah pulih, namun bulan lalu ada dua kematian misterius di penjara tersebut dan sukarelawan yang bekerja dengan napi mengatakan bahwa penggunaan narkoba dan penyuapan masih marak.
“Para tahanan mengatakan penjualan narkoba dilakukan di dalam gereja atau lapangan tenis, dan para penjaga menerima uang untuk memperbolehkan hubungan seks di dalam toilet,” ujar kepala Asosiasi Narapidana Indonesia di Bali Ida Ayu Made Gayatri.
"Kami tahu ada orang-orang yang masih melemparkan narkoba melalui dinding penjara dan beberapa bahkan dapat melewati gerbang depan dengan para staff.”
Seperti juga banyak penjara lainnya di Indonesia, Kerobokan mengalami masalah tempat. Jumlah narapidana mencapai 1.015 orang, termasuk 68 orang asing dan sembilan anak-anak, membuatnya tiga kali lebih padat dari kapasitas yang seharusnya.
Penjara ini telah menjadi rumah untuk pengedar narkoba Schapelle Corby dari Australia sejak 2004 dan Bali Sembilan, sekelompok orang Australia yang ditangkap dengan heroin terikat di tubuh mereka.
Sementara para tahanan perempuan tidur di atas kasur yang dibawa oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam kamar-kamar rapi yang padat seperti kamar asrama mahasiswi, para tahanan laki-laki memadati sel-sel yang lebih besar, namun bisa mencapai 70 orang dalam satu sel.
Kepala penjara yang baru, I Gusti Ngurah Wiratna, bertekad membersihkan reputasi Kerobokan, yang terpuruk pada 2009 menyusul terbitnya buku “Hotel Kerobokan” oleh penulis asal Australia Kathryn Bonella.
Ia menggambarkan penjara tersebut sebagai “lubang neraka” dimana tahanan yang kaya raya, dengan uang kiriman dari pengunjung, dapat menikmati hidup mewah dalam penjara sementara yang lain hidup seperti gembel.
Buku tersebut memotret penjara tersebut sebagai “pusat narkoba” Bali, dengan adanya pesta seks yang dibayar, pembunuhan dan bunuh diri.
Langkah pertama Wiratna dalam membersihkan kekacauan itu adalah program “nol rupiah” untuk menjamin para tahanan tidak dapat membayar untuk perlakuan istimewa dan untuk mengontrol budaya suap untuk para penjaga.
“Kekerasan seperti ini terjadi karena kelompok rival di sini terbentuk dari peredaran uang dan bertarung karena pembayaran,” ujar Wiratna, seraya menjelaskan bahwa sejumlah anggota gang sudah dipindahkan ke fasilitas lain.
“Sogokan diberikan secara terbuka. Para pengunjung biasanya dapat membayar untuk bisa masuk dan para tahanan menyuap penjaga untuk melakukan aktivitas yang seharusnya gratis. Semua itu telah dihentikan.”
Namun seorang napi perempuan asing yang baru saja dipenjara mengatakan bahkan ia tidak dapat masuk gereja tanpa membayar penjaga.
“Tidak ada yang bisa dikerjakan di sini. Saya mencoba mencari sansak agar bisa berolahraga. Dan saya masih menunggu untuk dapat masuk gereja,” ujarnya sambil menangis.
Sementara uang masih dapat membeli apapun di dalam, para tahanan di Blok W untuk perempuan mengeluh bahwa aliran uang melambat sejak Wiratna mengambil alih.
“Situasi di Blok W masih OK, tapi ekonomi tidak begitu bagus,” ujar seorang perempuan Indonesia berusia 24 tahun yang didakwa memiliki narkoba.
Perempuan yang biasa mencuci baju tahanan dan penjara di Blok W dengan bayaran Rp 10.000-Rp 20.000 mengatakan banyak orang kekurangan uang baru-baru ini.
Blok W memang memiliki kegiatan ekonomi. Sekelompok perempuan terlihat menggoreng onde-onde di dapur sementara yang lain menjahit tas yang mereka harap dapat dijual di luar. Namun blok ini adalah area di mana para penjaga mempertahankan kekuasaan dan uang.
“Perempuan yang masak di dapur dibayar oleh para penjaga, yang menjual makanan tersebut pada tahanan lain untuk mendapatkan keuntungan,” ujar seorang tahanan perempuan asing lain yang juga didakwa memiliki narkoba.
Ia memegang kantung plastik berisi sepotong roti, pisang dan dua potong pepaya.
“Ini saja yang orang asing dapat makan tiap hari. Seharusnya dapur bisa dipergunakan oleh kita, namun para penjaga menguasainya untuk menghasilkan uang. Jika kita ingin makanan lain, kita harus membelinya,” ujarnya.
“Pada akhirnya, tidak ada yang kelaparan. Tapi kita menghabiskan banyak waktu untuk berusaha mendapatkan uang hanya untuk makan.” (AFP/Angela Dewan)
Namun bagi mereka yang telah menghabiskan waktu di penjara Kerobokan, Bali, mengatakan bahwa tempat itu masih jadi sarang penyuapan, narkoba dan seks, meski ada perombakan manajemen yang bertujuan untuk membersihkan citranya.
“Anda masih bisa mendapatkan apa saja yang Anda mau jika punya uang,” seorang napi asal Australia memberitahu kantor berita AFP di luar gereja yang ada di kompleks penjara. “Tidak ada perubahan yang berarti.”
Manajemen yang baru dibentuk Februari lalu setelah sipir dan kepala polisi Bali dipecat menyusul kerusuhan di penjara yang berlangsung berhari-hari, dipicu oleh penusukan dalam perang antar gang, yang semakin mencemari reputasi penjara yang buruk.
Sekitar 1.000 polisi dikaryakan pada peristiwa tersebut, menyiram air dan peluru karet untuk mengamakan fasilitas penjara yang terlalu penuh, setelah para penjaga kabur karena tidak sanggup mengontrol kerusuhan.
Keamanan telah pulih, namun bulan lalu ada dua kematian misterius di penjara tersebut dan sukarelawan yang bekerja dengan napi mengatakan bahwa penggunaan narkoba dan penyuapan masih marak.
“Para tahanan mengatakan penjualan narkoba dilakukan di dalam gereja atau lapangan tenis, dan para penjaga menerima uang untuk memperbolehkan hubungan seks di dalam toilet,” ujar kepala Asosiasi Narapidana Indonesia di Bali Ida Ayu Made Gayatri.
"Kami tahu ada orang-orang yang masih melemparkan narkoba melalui dinding penjara dan beberapa bahkan dapat melewati gerbang depan dengan para staff.”
Seperti juga banyak penjara lainnya di Indonesia, Kerobokan mengalami masalah tempat. Jumlah narapidana mencapai 1.015 orang, termasuk 68 orang asing dan sembilan anak-anak, membuatnya tiga kali lebih padat dari kapasitas yang seharusnya.
Penjara ini telah menjadi rumah untuk pengedar narkoba Schapelle Corby dari Australia sejak 2004 dan Bali Sembilan, sekelompok orang Australia yang ditangkap dengan heroin terikat di tubuh mereka.
Sementara para tahanan perempuan tidur di atas kasur yang dibawa oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam kamar-kamar rapi yang padat seperti kamar asrama mahasiswi, para tahanan laki-laki memadati sel-sel yang lebih besar, namun bisa mencapai 70 orang dalam satu sel.
Kepala penjara yang baru, I Gusti Ngurah Wiratna, bertekad membersihkan reputasi Kerobokan, yang terpuruk pada 2009 menyusul terbitnya buku “Hotel Kerobokan” oleh penulis asal Australia Kathryn Bonella.
Ia menggambarkan penjara tersebut sebagai “lubang neraka” dimana tahanan yang kaya raya, dengan uang kiriman dari pengunjung, dapat menikmati hidup mewah dalam penjara sementara yang lain hidup seperti gembel.
Buku tersebut memotret penjara tersebut sebagai “pusat narkoba” Bali, dengan adanya pesta seks yang dibayar, pembunuhan dan bunuh diri.
Langkah pertama Wiratna dalam membersihkan kekacauan itu adalah program “nol rupiah” untuk menjamin para tahanan tidak dapat membayar untuk perlakuan istimewa dan untuk mengontrol budaya suap untuk para penjaga.
“Kekerasan seperti ini terjadi karena kelompok rival di sini terbentuk dari peredaran uang dan bertarung karena pembayaran,” ujar Wiratna, seraya menjelaskan bahwa sejumlah anggota gang sudah dipindahkan ke fasilitas lain.
“Sogokan diberikan secara terbuka. Para pengunjung biasanya dapat membayar untuk bisa masuk dan para tahanan menyuap penjaga untuk melakukan aktivitas yang seharusnya gratis. Semua itu telah dihentikan.”
Namun seorang napi perempuan asing yang baru saja dipenjara mengatakan bahkan ia tidak dapat masuk gereja tanpa membayar penjaga.
“Tidak ada yang bisa dikerjakan di sini. Saya mencoba mencari sansak agar bisa berolahraga. Dan saya masih menunggu untuk dapat masuk gereja,” ujarnya sambil menangis.
Sementara uang masih dapat membeli apapun di dalam, para tahanan di Blok W untuk perempuan mengeluh bahwa aliran uang melambat sejak Wiratna mengambil alih.
“Situasi di Blok W masih OK, tapi ekonomi tidak begitu bagus,” ujar seorang perempuan Indonesia berusia 24 tahun yang didakwa memiliki narkoba.
Perempuan yang biasa mencuci baju tahanan dan penjara di Blok W dengan bayaran Rp 10.000-Rp 20.000 mengatakan banyak orang kekurangan uang baru-baru ini.
Blok W memang memiliki kegiatan ekonomi. Sekelompok perempuan terlihat menggoreng onde-onde di dapur sementara yang lain menjahit tas yang mereka harap dapat dijual di luar. Namun blok ini adalah area di mana para penjaga mempertahankan kekuasaan dan uang.
“Perempuan yang masak di dapur dibayar oleh para penjaga, yang menjual makanan tersebut pada tahanan lain untuk mendapatkan keuntungan,” ujar seorang tahanan perempuan asing lain yang juga didakwa memiliki narkoba.
Ia memegang kantung plastik berisi sepotong roti, pisang dan dua potong pepaya.
“Ini saja yang orang asing dapat makan tiap hari. Seharusnya dapur bisa dipergunakan oleh kita, namun para penjaga menguasainya untuk menghasilkan uang. Jika kita ingin makanan lain, kita harus membelinya,” ujarnya.
“Pada akhirnya, tidak ada yang kelaparan. Tapi kita menghabiskan banyak waktu untuk berusaha mendapatkan uang hanya untuk makan.” (AFP/Angela Dewan)