Mangir, daerah tenang tak jauh dari aliran Sungai Progo di sisi selatan Yogyakarta. Desa ini memiliki sejarah panjang, dinamai sesuai tokoh setempat, Ki Ageng Mangir. Kisahnya bisa dirunut hingga Brawijaya V, yang memerintah Majapahit hingga 1478.
Di Mangir itulah, kini Utiek Suprapti tinggal. Namanya tak dikenal luas, hingga 12 November lalu ketika upacara Piodalan yang diselenggarakan di sanggar pamujan di rumahnya, ditolak sebagian warga.
“Padahal kami ini hidup rukun selama ini, tidak pernah ada masalah,” ujar Utiek.
Tetangga sebelah rumah yang ditemui VOA juga mengisyaratkan hal yang sama. Mereka ramah, meski tidak mau berbicara banyak setelah peristiwa pekan lalu.
Bupati Bantul, Suharsono bergerak cepat mengatasi masalah ini. Hari Senin, 18 November, dia mengumpulkan seluruh pihak terkait di kantornya. Utiek Suprapti yang turut hadir meminta kegiatan mereka ke depan dapat dilaksanakan tanpa gangguan.
“Saya mohon kepada Bupati, semoga kegiatan keyakinan saya, untuk selanjutnya saya bisa mendapatkan keamanan, kenyamanan dalam saya melaksanakan kegiatan bersama keluarga, seumat kami, yang ada di lingkungan DIY. Karena memang umat Hindu masih terbatas. Saya mohon izin ketika bulan purnama dan pada purnama tilem, dan hari-hari besar agama Hindu, keluarga kami datang ke tempat kami,” ujar Utiek.
Utiek juga menerangkan, bangunan kecil yang ada di sudut rumahnya bukan pura, tetapi sanggar pamujan keluarga. Mereka yang berdoa di tempat itu, datang dari berbagai tempat karena pemeluk Hindu di Yogyakarta jumlahnya sangat kecil, dan tempat ibadah yang tersedia terbatas.
Hindu Siwa Budha
Lilik Krismantoro Putro, Sekjen Gerakan Masyarakat Indonesia Melawan Intoleransi (Gemayomi) Yogyakarta memastikan bahwa Utiek Suprapti adalah penganut Hindu. Secara lebih spesifik, yang dipraktikan adalah ajaran Siwa Budha.
“Tidak ada yang salah, karena itu ritual gabungan Hindu dan Budha. Dalam tradisi di sini memang begitu, tetapi dalam pengetahuan publik, kan tidak memahami itu. Yang namanya Siwa Budha itu, di Jawa masuk Budha Kasogatan. Di Bali dia masuk ke Hindu. Akhirnya beliau mengundang tokoh Hindu dan Budha, karena memang kombinasi keduanya,” kata Lilik.
Penolakan yang terjadi pekan lalu, menurut Lilik adalah karena kesalahpahaman dan minimnya komunikasi. Upacara Piodalan dengan mengundang pendeta Hindu dan Budha tidak dipahami oleh masyarakat umum. Padahal menurut Lilik, sinkretisme dua agama itu sudah terjadi ribuan tahun yang lalu.
Masyarakat juga tidak memahami ruang ibadah di rumah Utiek Suprapti, yang dianggap sebagai pura. Padahal itu adalah sanggar pamujan. Dalam Islam, lanjut Lilik, sanggar pamujan seperti langgar, yaitu masjid kecil milik keluarga yang dipakai beribadah dalam jumlah umat terbatas. Sementara piodalan adalah doa bersama, semacam tradisi nyekar dalam Islam. Menurut Lilik, hal-hal semacam ini harus dikomunikasikan ke masyarakat sekitar agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Permasalahan Telah Selesai
Made Astra Tanaya dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) DIY, menyebut persoalan miskomunikasi telah diselesaikan. Dia berharap kerukunan antar umat beragama kembali terjalin setelah ini. PHDI setelah ini akan mendampingi Utiek dalam melaksanakan acara keagamaan Hindu, terutama jika mengundang banyak umat.
“Bukan Masalah agama, bukan masalah agama. Yang kedua, masalahnya adalah miskomunikasi. Satu minta harus ada izin, yang satu memberi pemberitahuan. Bedanya apa? Ini yang miskomunikasi,” kata Made Astra.
Sementara Muhammad Irwan Susanto, Kepala Desa Sedangsari sebagai perwakilan masyarakat setempat mengaku tidak ada lagi permasalahan tersisa.
“Kemarin kan cuma miskomunikasi. Belum ada kejelasan beliau ini kepercayaan atau beliau ini masuk MLKI, atau Hindu, itu belum jelas. Tetapi sudah ada klarifikasi, dan pernyataan seperti itu, sehingga sudah tidak ada permasalahan lagi. Beliau Hindu dan kegiatan yang akan dilaksanakan tentunya sesuai dengan ajaran Hindu,” kata Irwan.
Sesuai aturan yang ada, sanggar pamujan tidak membutuhkan izin untuk didirikan. Namun Irwan menyarankan, jika ada kegiatan yang melibatkan banyak orang dari luar daerah, sebaiknya dibangun komunikasi dengan masyarakat setempat.
Mangir: Pertautan Hindu dan Islam
Sejarawan dari Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, UGM, Sri Margana mengupas secara singkat sejarah Mangir. Sejarah itu penting untuk dapat memahami dan bersikap toleran terhadap umat Hindu dan ibadahnya di tengah masyarakat mayoritas muslim.
Merunut ke belakang, sejarah Mangir bermula dari Brawijaya V atau Bre Kertabhumi. Brawijaya V ini memiliki anak Bre Mataram, yang menurunkan Ki Wanabaya I. Silsilah berlanjut ke Ki Wanabaya II sebagai anaknya, yang juga dikenal sebagai Ki Ageng Mangir. Di masa inilah terjadi peralihan agama yang dianut, dari Hindu menjadi Islam. Mangir juga dikenal sebagai tanah perdikan, atau wilayah yang tidak membayar pajak kepada Mataram.
“Mangir alias Ki Wanabaya sudah ada sebelum Mataram Islam. Penguasa sebelum periode itu ya Ki Ageng Mangir, karenanya dia tidak mau tunduk kepada Mataram Islam,” ujar Sri Margana.
Mataram Hindu sebagai kerajaan berakhir pada abad 11-12, sementara Mataram Islam berdiri pada 1575. Pusat pemerintahan Mataram Hindu pindah ke Jawa Timur ketika itu, tetapi masih ada masyarakat yang tinggal di kawasan yang kini menjadi Yogyakarta. Masyarakat itu tetap bergama Hindu.
“Selain Mangir, di Yogyakarta ada kawasan yang menyimpan sisa peninggalan Hindu, seperti Pleret dan Kotagede,” tambah Sri Margana.
Karena itu, Sri Margana bisa menerima kemungkinan jika di kawasan Mangir masih ada anak turun Brawijaya V, dan tentu saja kembali memegang agama leluhur mereka, Hindu. Harus dicatat bahwa ketika Mataram Islam datang, kawasan Yogyakarta dan sekitarnya telah dihuni oleh masyarakat. menurut Sri Margana, dalam babad dikisahkan bahwa Mataram Islam didirikan di atas hutan. Kisah itu tidak sepenuhnya benar. Sri Margana menyebut bukti, di makam Raja Mataram Kotagede, pada bagian paling ujung ada makam Ki Jayaprana yang merupakan Kepala Desa Mentaok ketika itu.
“Ada dongeng ketika pemanahan datang, dia minta Jayaprana pergi karena Alas Mentaok sudah diberikan kepadanya oleh Sultan Pajang. Tapi Jayaprana tidak mau. Dia mau pergi, kalau Pemanahan kuat menggendongnya. Karena Jayaprana sakti, Pemanahan hanya kuat menggendong beberapa langkah saja. Tradisi lisan ini menunjukkan bahwa Mentaok ketika itu sudah berpenghuni. Meski konon kisah ini adalah pasemon saja, alias metafora,” papar Sri Margana.
Sejarah sebenarnya bisa menjadi dasar bersikap bagi masyarakat. Pada kasus-kasus semacam Piodalan di Bantul ini, pemahaman terhadap fakta masa lalu bisa menjadi dasar bersikap toleran. [ns/ab]